Pengantar :
Artikel menarik Dr Haedar Nashir, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah kembali disajikan lagi di sini. Tulisan ini dimuat pada Refleksi harian Republika edisi hari ini, Ahad, 30 Mei 2010. Mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.
•••••
MENGAPA manusia suka berebut sesuatu dengan sikap naif ? Memperebutkan jabatan. Berebut lahan. Berebut pengaruh dan kekuasaan. Bahkan, berebut hal-hal sepele hingga menumpahkan darah. Padahal, untuk banyak perebutan hidup yang sarat pertaruhan itu, tidak jarang harus ditebus dengan jatuh-bangun, tersungkur, deadlock, dan berakhir tragis.
Memang, perjuangan hidup (the struggle of life ) merupakan bagian penting yang melekat dengan keberadaan manusia. Manusia eksis ketika berjuang dalam hidup. Tapi, “Ila ‘aina tadzhabun ?” sindir Tuhan dengan kalimat menggugat sekaligus mengandung dekonstruksi kesadaran. Ada garis batas yang tak boleh dilampaui dalam pergulatan hidup. Sebutlah kepatutan, kebaikan, kebenaran, dan nilai-nilai utama sebagaimana diajarkan agama. Ngono ya ngono, ning ojo kaya ngono, kata filosofi Jawa. Berjuanglah dalam hidup, tapi jangan menggunakan segala cara dan membuang banyak makna.
Manusia sungguh merupakan sosok makhluk Tuhan yang paling rumit dan misterius untuk dipahami. Banyak sekali hasrat dan polahnya yang sarat ironi, dari yang terang hingga abu-abu. Terperangkap pada apa yang oleh Freud sebagai penjara libido. Kadang, melahirkan perilaku paradoks antara yang dipertunjukkan di depan dan yang tersembunyi di belakang. Banyak hal buruk dibungkus retorika serbaindah, lalu jadi laris di ruang publik. Sebaliknya, yang baik-baik tampak lapuk dan dicampakkan.
Penyakit modular
Dalam perburuan hidup yang penuh pertaruhan, kadang manusia kehilangan autentisitas dirinya. Manusia pun menjadi kehilangan eksistensi dirinya. Ketika harus bertarung dan berperang, tidak tahu persis kapan api peperangan dikobarkan dan bagaimana cara menghentikannya. Berbondong-bondong orang ingin memiliki sesuatu ( to have ), tetapi sedikit sekali yang ingin menjadi sesuatu ( to be ). Dari yang ingin menjadi sesuatu pun, tidak banyak yang memahami makna yang hakiki, kecuali sekadar menjalani tanpa tahu mengapa.
Kita tidak tahu persis mengapa Anda harus menjadi jaksa, polisi, politisi, hakim, advokat, jurnalis, guru, dosen, bahkan markus dan presiden. Apa makna dan fungsi hakiki dari semua yang melekat dengan diri kita itu. Di tangan hakim, polisi, jaksa, dan advokat, nasib bahkan kematian orang dipertaruhkan. Sering terjadi ironi, orang salah dibebaskan dari jeratan hukum, yang benar meringkuk di penjara. Jika institusi penegakan hukum digugat orang dengan mudah kebakaran jenggot, tetapi hukum yang ditegakkan tak pernah menyentuh keadilan. Bermaknakah jabatan-jabatan yang menentukan hitam-putihnya nasib manusia manakala penuh penyimpangan?
Mengapa harus berebut menjadi pemimpin partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan menjadi pemuncak pada setiap posisi dan mobilitas sosial yang penting dengan sikap to be or not to be. Lebih-lebih manakala jabatan-jabatan yang melekat dalam diri Anda seperti itu secara hakiki tidak memberikan maslahat, kemanfaatan, dan kebaikan bagi sebesar-besarnya kehidupan orang banyak. Tidak menjadi pelayan rakyat. Tidak sejalan dengan janji dan amanat. Sekadar memenuhi hajat mobilitas diri, keluarga, dan kelompok sendiri.
Karena perburuan hidup yang serbainstrumental dan kehilangan makna yang fundamental, lalu manusia sebagai pelakunya lama-kelamaan menjadi robot. Berbuat sesuatu tanpa tahu makna di balik perbuatan itu. Tanpa arah dan tujuan yang jelas, kecuali mengikuti naluri-naluri primitif yang sudah diprogram. Tanpa didasari filosofi hidup yang jelas berupa kebenaran, kebaikan, dan kepantasan sebagaimana layaknya keadaban manusia yang berbeda dari makhluk Tuhan yang lain.
Kata Toffler, manusia di jagat raya saat ini telah berubah menjadi the modular man, insan yang serbamodular. Hidup manusia seperti berada dalam sistem pabrik. Segalanya sudah serba dirancang bangun dalam tata urut dan proses yang organik, dari hulu ke hilir. Sejak anak usia dini di taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, manusia diprogram bagaimana menjadi pelaku perburuan hidup, dari berlomba meraih nilai tertinggi hingga bekerja di tempat-tempat prestisius. Mereka lupa diajarkan makna-makna di balik perjuangan hidup yang harus dijalani secara niscaya itu.
Manusia modular mati mata hatinya, yang hidup sekadar nalar instrumentalnya. Jangankan ingat dengan nasib rakyat yang nun jauh di sana, tugas utamanya selaku pejabat publik yang sederhana pun menjadi mudah terabaikan karena yang dikejar adalah mobilitas diri. Beberapa saat Anda dipilih rakyat, tidak lama kemudian Anda bertarung memperebutkan kursi gubernur, wali kota, dan bupati. Di mana moral dirinya selaku pejabat publik? Sungguh mati rasa. Ketika mobilitas diri itu ingin diraih cepat, berlakulah hukum menerabas, segalanya dapat dilakukan demi mencapai tujuan.
Disorientasi makna
Virus insan modular menyebar ke segala arah. Hukum, perkara, dan apa pun dengan mudah diperjualbelikan. Penegak hukum lupa tugas mulia menegakkan hukum dan keadilan. Terganggu gerak mobilitasnya, siapa pun dilibasnya. Maka, berlakukan ironi, peniup trompet pun akan dengan mudah menjadi objek penderita ketika mengganggu status quo mobilitas yang mengabdi pada dirinya sendiri. Kita ingin siapa pun yang salah memang dijerat hukum. Tapi, jangan tiba di mulut dimuntahkan, masuk ke perut dikembungkan. Satu kasus dengan mudah diusut, ribuan kasus besar malah disembunyikan.
Semoga penyakit insan modular tidak merembet ke ranah tokoh-tokoh dan pendakwah umat yang berkiprah di dunia mulia. Para pemimpin umat tidak lupa amanat selaku khadim al-ummat hanya karena tenggelam dalam mobilitas diri dan gerak sosial yang melampaui takaran sehingga makin jauh panggang dari api. Lupa denyut nadi kehidupan umat yang miskin, rentan, dan mudah terbuang. Maklum, kehidupan yang gemuruh laksana di pabrik semakin mengakumulasikan hasrat-hasrat mobilitas kuasa, materi, dan tangga diri yang tak pernah ada batasnya.
Para kawula muda pun tidak terus bertaruh untuk saling memperebutkan tangga mobilitas yang sarat gemerlap itu hingga tidak jarang lupa idealisme awal. Jakarta bukan lagi ruang kultural Betawi yang bersahaja, tetapi telah menjelma menjadi kekuatan megapolitan tempat tumbuh suburnya mimpi-mimpi gemerlap kuasa, harta, dan tangga mobilitas diri yang serbakemilau bagi armada kaum muda dari sejuta pelosok. Lalu, kesahajaan, ketulusan, pengabdian, dan ruang kultural yang serbaautentik menjadi barang mewah di kota penuh gemerlap dan kadang ganas itu.
Pada suatu saat, ketika manusia berada dalam alam modern yang berbudaya modular berdosis tinggi, manusia saling berebut untuk mencari tempat mobilitas sekaligus pelarian diri yang paling memberikan kenyamanan. Pantai dan pusat-pusat wisata terindah di seluruh penjuru bumi didatangi gerombolan manusia yang ingin membuang diri dari kepenatan hidup yang sungguh luar biasa. Tapi kepenatan yang mengimpit itu sesungguhnya diciptakan sendiri oleh manusia.
Manusia modern, tulis Alvin Toffler, seperti sedang berebut roda putar di pusat keramaian. Semua ingin menikmatinya hingga ke putaran puncak. Kian menjulang, semakin bergairah meraihnya. Tapi, lama-kelamaan, putaran roda dunia itu tidak dapat dihentikan lagi dan terus berputar kencang hingga manusia-manusia yang berada di dalamnya dibikin jenuh, lelah, linglung, dan frustrasi. Mereka kemudian ramai berteriak, “Stop the world, I want to get-off !”
Hentikan dunia, kami mau turun! Sayang sekali, roda putar dunia yang terlampau berlaju kencang tak dapat lagi dihentikan oleh siapa pun dan manusia yang menghuninya kian putus asa. Pada titik paling krusial itulah, lahir penyakit baru: the future shock, kejutan masa depan. Manusia dijangkiti penyakit cemas, takut, stres, depresi, dan tidak tahu arah hidup karena dibebani oleh seribusatu perubahan yang berlangsung cepat yang diciptakannya sendiri.
Si pemburu hidup akhirnya mengalami disorientasi makna, tidak tahu siapa dirinya dan untuk apa dia bertaruh dalam hidup yang hanya sekali itu. Menjadi pejabat publik tak memberi makna kebajikan untuk orang banyak, bahkan menjadi beban negara. Menjadi tokoh umat hanya melintasi mobilitas diri tanpa tahu sesungguhnya bagaimana umat harus dicerahkan, dibebaskan, dan diberdayakan. Penyampai risalah tablig bukan mencerahkan nurani dan alam pikiran orang banyak, malah menanamkan benih-benih marah. Hidup disederhanakan menjadi ghozwul (ghozwah), peperangan apa saja yang menebar rasa permusuhan atas nama sesuatu yang luhur.
Manusia pemburu hidup menjadi tidak tahu persis apa yang dilakukannya, bahkan tidak kenal sosok dirinya sendiri. Lupa alfabet makna yang serbasubstantif. Menjadi lupa siapa dirinya. Lupa menjadi manusia yang sepenuhnya berbeda dari makhluk Tuhan yang lain. Menjadi makhluk yang seharusnya bermoral, bermartabat, dan bertujuan hidup yang keseluruhannya harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Bukan sekadar berebut lahan hidup. Apalagi, berebut pepesan kosong!
•••••
Gambar © http://muhammadiyah.or.id
Cianjur, Ahad, 30 Mei 2010 | 23:07
May 31, 2010 @ 11:04:28
Sungguh lia tidak habis pikir..
dengan kejadian2 yg lalu, dengan konsekwensinya..
mengapa tetap berminat terjun di politik ?
artikelnya bagus pak…
mencerahkan
——————————————-
May 31, 2010 @ 11:05:33
sampai lupa..
Selamat beraktifitas dihari sabtu pak…
wassalamualaikum wr.wb
——————————————
May 31, 2010 @ 11:07:38
dalam pak ini ulasannya…
manusia jaman sekarang memang seperti sedang dalam lomba adu kaya atau jabatan dan kemewahan hidup lainnya.
padahal esensi kehidupan ada dalam hal2 sederhana,bukan dalam materi.
semoga kita bisa jadi pencerah bagi lingkungan kita soal makna hidup yg sesungguhnya 🙂
———————————————
May 31, 2010 @ 15:17:13
Saya sependapat dengan Ustadz Didot,
sebaiknya kalau memang kita tidak punya kapasitas dan kualias untuk terjun ke ranah kekuasaan atau politik, lebih baik jangan lah. cukuplah kita mengajukan dan mendukung yang terbaik…
———————————————-
May 31, 2010 @ 15:22:43
artikelnya bagus untuk bahan renungan biar bisa flashback, dan mengerti tentang artinya hidup.
salam kenal pak
(*anggota baru*)
———————————————-
May 31, 2010 @ 22:33:49
Sangat ermanfaat kang, nafsu duniawi kadang membuat kita terlena, terbuai, hingga lupa menjadi manusia seutuhnya yg beradab, bermoral, bermartabat, dan bertujuan hidup yang keseluruhannya harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Nuhun pisan kang
———————————
Jun 01, 2010 @ 05:05:05
Inilah mengapa kita bisa dikatakan Lupa menjadi Manusia karena tidak sesuai dengan yang di haruskan untukmenjadi manusia… mungkin ini kekhawatiran malaikat Allah… hehehe…..
—————————————–
Jun 01, 2010 @ 07:18:45
Assalamualaikum ww pak Abdul Aziz – sudah saya catat : si pemburu hidup akhirnya mengalami disorientasi makna, tidak tahu siapa dirinya dan untuk apa? – terima kasih – salam saya..
—————————————
Jun 01, 2010 @ 09:51:00
jangankan untuk berebut” hal uang besar…untuk hal yang kecil saja..manusia lupa hakikatnya sebagai manusia…..tapi ya….sebaiknya kita berbuat selayaknya manusia,,,,
——————————————–
Jun 01, 2010 @ 10:26:08
Betul sekali pak.. makna hidup ini sudah kabur bagi kebanyakan manusia. Mudah2an kita tidak termasuk di dalamnya.
Btw, artikel2 “refleksi” dan “resonansi” di Republika memang bagus2 pak, saya suka sekali.
————————————————-
Jun 01, 2010 @ 10:48:07
begitulah pak, dijaman sekarang ini, dalam semua kehidupan, kalau kurang kuat iman, bisa nggak bener jadinya (Dewi yana)
————————————————-
Jun 01, 2010 @ 11:03:58
Lupa menjadi manusia … lupa pada yang menciptakan mansia … lupa akan tujuan penciptaan manusia..
sebuah perenungan n penyadaran bagi yang masih ingin disebut manusia
hatur tararengkyu n semangat always 😉
————————————————–
Jun 01, 2010 @ 13:15:07
Salam Takzim
Selamat siang, izin menawarkan cerbung datang ya
Salam Takzim Batavusqu
—————————————
Jun 01, 2010 @ 16:43:17
judulnya sangat keren, LUPA MENJADI MANUSIA
yup.. sangat mengherankan, manusia berebut jabatan
padahal amanah adalah sesuatu yang berat
sangat tepat, ini adalah DISORIENTASI
teringat ucapan amirul mukminin umar bin khattab
(dikutip dari tarikhul khulafa – imam suyuthi)
Amirul ummah khadimuhum
pemimpin umat adalah pelayan bagi mereka
so.. berebut jabatan, benarkah ingin menjadi pelayan umat? atau hanya ingin mennumpuk materi?
pencerahan yang sangat mulia
semoga segala pertarungan meraih jabatan segera disadari oleh pelakunya
salam sukses..
sedj
——————————————————-
Jun 01, 2010 @ 18:32:08
Semoga dengan membaca artikel ini kita semua menjadi semakin sadar, Pak.
—————————————-
Jun 03, 2010 @ 16:09:04
Yang di atas main Politik
yang di bawah di kitik kitik
weleh weleh……….
artikel yang bagus pak Abdaz 🙂
———————————————-
Jun 03, 2010 @ 18:45:25
alhamdulillah dapat bacaan mencerahkan malam ini 🙂
——————————————
Jun 07, 2010 @ 16:57:27
Wah artikel menarik nih Kang,,moga kita gak termasuk yang selalu rebutan pepesan kosong..