PERSYARIKATAN Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 8 Zulhijjah 1330 atau 18 November 1912. Menurut kalender Hijriyah, Muhammadiyah ini sudah berusia seabad lebih beberapa bulan. Tapi, menurut perhitungan kalender miladiyah baru akan tepat berusia seabad, nanti pada November 2012. Karena perbedaan waktu antara kalender hijriyah dan kalender miladiyah terpaut 3 tahun dalam satu abad.( Baca : Satu Abad Muhammadiyah, Menuju Pembaharuan Tahap Kedua ).
Sabtu kemarin, 2 Juli 2010 telah dibuka Muktamar Muhammadiyah ke-46, yang disebut Muktamar Muhammadiyah Satu Abad. Sebagai Muslim dan warga Republik ini, kita berharap Muhammadiyah akan semakin banyak memberikan kemaslahatan bagi umat dan negeri ini.
Muktamar yang bertema “Gerak Melintasi Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama “ ini diharapkan bisa menghasilkan terobosan brilian sebagaimana terobosan yang dilakukan Bapak Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Semoga.
Berikut beberapa artikel yang ditulis oleh beberapa tokoh dan pengamat Muhammadiyah. Semoga bermanfaat.
ΩΩΩ
Muhammadiyah Memasuki Abad ke-2
Oleh Ahmad Syafii Maarif
( Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah )
Jika dihitung menurut kalender miladiah, usia seabad Muhammadiyah baru akan jatuh pada 18 November 2012, tetapi jika yang digunakan kalender hijriah, gerakan Islam ini telah berumur sekitar 100 tahun empat bulan, dimulai sejak kelahirannya di Kauman, Yogyakarta, pada 8 Zulhijjah 1330. Muktamar ke-46 di kota kelahirannya pada 3-8 Juli 2010 disebut sebagai pertemuan tertinggi satu abad. Temanya dahsyat sekali: “Gerak Melintasi Zaman, Dakwah, dan Tajdid Menuju Peradaban Utama”.
Tujuan yang hendak diraih dalam jangka panjang adalah terciptanya peradaban utama, sebuah istilah lain dari masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, sebagaimana tercantum dalam AD (Anggaran Dasar) Muhammadiyah tahun 2005 Bab III Pasal 6.
Tentu tidak salah, bahkan sebuah keharusan, jika Muhammadiyah punya gagasan dan cita-cita besar dalam mengemban misi kerisalahannya, seperti halnya negara Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, juga telah merumuskan tujuan besar jangka panjang itu yang intinya mengkristal dalam rumusan Pancasila. Sila ke-5 berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan segala capaian yang positif sejak proklamasi tahun 1945, suara kritikal masih mengatakan bahwa sila ke-5 ini telah menjadi yatim piatu sejak negara ini lahir 65 tahun yang lalu.
Muhammadiyah yang lahir 33 tahun mendahului Republik Indonesia rupanya telah semakin piawai dalam merumuskan tujuannya. Dalam AD 1912, artikel 2, formula tujuan itu ditulis dalam ungkapan yang sangat sederhana, yaitu: a. Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta; b. Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya. Dari muktamar ke muktamar rumusan tujuan ini mengalami modifikasi. Istilah “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” baru muncul dalam muktamar ke-31, yang berlangsung pada 21-26 Desember 1950 di Yogyakarta, 27 tahun sepeninggal pendirinya, Ahmad Dahlan, yang wafat pada 1923.
Di masa awal, masalah asas organisasi tidak dijumpai. Baru pada 1959, asas itu muncul setelah partai-partai Islam gagal memperjuangkan asas Islam untuk negara dalam Majelis Konstituante. Dengan kata lain, Muhammadiyah mencantumkan asas Islam dalam AD-nya tampaknya sebagai tebusan dari kegagalan partai-partai Islam di ranah konstitusional.
Sesungguhnya trade mark Muhammadiyah yang fenomenal adalah kiprahnya yang spektakuler di dunia pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pembelaannya terhadap anak yatim piatu. Kiprah ini memang jauh dari maksimal karena dihalangi oleh berbagai keterbatasan, baik dalam masalah dana maupun sumber daya manusia. Tetapi, jika disandingkan dengan organisasi kemasyarakatan sejenis di Indonesia, Muhammadiyah secara kuantitatif tentulah berada di garda depan. Coba Anda bayangkan jumlah PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) sudah berada di atas angka 160, kecil dan besar. Angka ini ditambah lagi dengan ribuan sekolah dan madrasah yang bertebaran di seluruh Nusantara. Kemudian, klinik dan rumah sakit sudah mencapai angka 500. Dengan fakta ini, beban Muhammadiyah itu sungguh berat. Mungkin karena energinya banyak tersedot oleh amal usaha yang luas dan banyak itu, Muhammadiyah belum berhasil menampilkan pikiran-pikiran besar dalam berbagai bidang kehidupan.
Bagaimana dengan gerak memasuki abad ke-2? Saran yang sudah saya sampaikan sejak beberapa tahun terakhir sebenarnya terpusat pada apa yang dinilai belum tergarap selama 100 yang lalu, harus mendapat perhatian utama. Pikiran-pikiran besar di bidang sosial-kemanusiaan, moral, politik, dan ilmu pengetahuan tidak boleh diabaikan. Sebab, tanpa ini semua, gagasan peradaban utama yang menjadi tema muktamar 2010 akan tetaplah tergantung di awan tinggi, tidak akan pernah membumi.
Dengan bermodal PTM yang banyak itu, gerak ke arah lahirnya pemikiran besar ini bukanlah sesuatu yang mustahil dengan syarat sivitas akademikanya punya kepekaan yang tinggi untuk itu. Dengan bantuan alat komunikasi modern yang semakin canggih sekarang ini, semua cita-cita besar akan lebih mudah direalisasikan. Tetapi, ada musuh besar yang harus ditaklukkan, yaitu kemalasan intelektual!
Sekali Muhammadiyah bisa menghancurkan musuh yang satu ini, jalan ke depan akan semakin lapang dan terarah. Perbedaan paham dalam soal-soal penafsiran agama dan kemanusiaan akan dapat dipersempit, jika modal intelektual itu tidak dipasung. Peradaban utama hanyalah mungkin digagas dengan baik, manakala prinsip kebebasan berpikir dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan subur. Tentu, corak intelektualisme yang dimaksud tetap berada dalam bingkai iman yang tulus.
Sumber : Republika, Selasa, 22 Juni 2010
ΩΩΩ
SBY dan Muhammadiyah
Oleh Ahmad Syafii Maarif
( Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah )
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa hubungan antara Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Presiden SBY sejak setahun terakhir terasa agak dingin sebagaimana dinginnya hubungan Dr Hasyim Muzadi, mantan ketum NU dengan presiden. Dari sisi kepentingan bangsa dan negara, situasi beku serupa ini jelas tidak sehat.
Akarnya tidak sulit untuk dilacak, pasti berkaitan dengan sikap kedua tokoh organisasi di atas pada pilpres tahun lalu. Keduanya mendukung pasangan JK-Wiranto. Bukankah politik kekuasaan itu cenderung membuat garis demarkasi antara kawan dan lawan, kecuali jika semua pihak mampu mengedepankan jiwa besar dan sikap kenegarawanan, demi menjaga tujuan jangka panjang yang lebih strategis. Jika dua nilai ini tidak ada maka yang terjadi adalah spekulasi liar yang dapat memicu keretakan sosial, sesuatu yang sangat merugikan persatuan nasional.
Namun, jika orang mau becermin kepada sikap Barack Obama terhadap lawan politiknya — sekalipun dari partai yang sama — di situ jelas terlihat kebesaran jiwa seorang politikus yang sedang bergerak menjadi negarawan. Perseteruan dengan Hillary diatasinya dengan merangkul yang bersangkutan menjadi menteri luar negeri, posisi ketiga teratas di Amerika. Semestinya, SBY sebagai pengagum berat Amerika mau belajar pada Obama. Seorang mantan komandannya mengatakan kepada saya bahwa presiden Indonesia sekarang sudah Americanized sejak usia mudanya. Jika memang demikian, apa sukarnya meniru sikap politik akomodatif ala Obama itu.
Kepada beberapa elite Muhammadiyah, pernah saya sampaikan agar presiden tetap diminta membuka Muktamar Muhammadiyah Satu Abad pada 3 Juli 2010 di kota kelahirannya, Yogyakarta. Alhamdulillah, PP Muhammadiyah telah menemui presiden beberapa waktu yang lalu. Hasilnya, muktamar akan dibuka presiden melalui telekonferensi dari Madinah karena yang bersangkutan lagi berumrah.
Maka itu, demi keutuhan bangsa, orang jangan lagi berspekulasi bahwa presiden lagi gondok dengan ketum Muhammadiyah. Sudahlah, tafsirkan saja apa salahnya presiden menggunakan media komunikasi modern untuk menyapa peserta muktamar dari jarak jauh. Bukankah Muhammadiyah sudah satu abad menyebut dirinya sebagai gerakan modern? Selebihnya, semua kita berharap agar muktamar berjalan mulus, aman, dan bebas dari segala macam bentuk kooptasi, dari mana pun datangnya.
Sumber : Republika, Selasa, 29 Juni 2010
ΩΩΩ
Wasiat KH Ahmad Dahlan
Oleh A Malik Fadjar
( Ketua PP Muhammadiyah, 2005-2010 )
Hidup-hiduplah Muhammadiyah,
Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah
Itulah wasiat yang berupa pesan singkat (semacam “SMS”) dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, kepada para pengikut dan pendukungnya menjelang akhir kepemimpinan dan hayatnya (1923). Dan, wasiat itu, oleh Pak AR Fachruddin (ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama, 1968-1990), dinilai sangat mendasar dan mendalam. Tetapi, wasiat itu akhir-akhir ini nyaris tak terdengar lagi. Tenggelam dalam dinamika dan perubahan zaman.
Padahal, di dalam wasiat itu, tersurat dan tersirat ajakan ataupun seruan agar generasi penerus tidak menyimpang dan kehilangan arah serta orientasinya dalam ber-Muhammadiyah. Karena, pembentukan organisasi yang dinamai Muhammadiyah yang dalam Ensiklopedi Islam berarti merujuk pada kata “Muhammad”, yaitu nama Rasulullah SAW, yang mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW, adalah merupakan wadah atau alat, dan/atau kendaraan untuk menjalankan dan meneruskan “Risalah Islamiyah” yang rahmatan lil ‘alamin. Bukan organisasi yang hanya sebatas mewadahi massa dengan simbol-simbol dan ikatan-ikatan emosionalnya, melainkan merupakan wadah pergerakan yang mengusung cita-cita yang abadi serta mulia dan mewujudkannya dalam bentuk perbuatan nyata.
Sesungguhnyalah Muhammadiyah itu bukan merupakan organisasi gerakan yang gemuruh dengan gegap-gempitanya massa yang diorganisasi dan dimobilisasi. Ia – Muhammdiyah — itu menurut tokoh nasionalis Roeslan Abdulgani, “jiwa dari gerakannya menuju kemajuan yang ruhnya adalah pembebasan dari belenggu-belenggu kedangkalan pandangan, pencemaran akidah, keterbelakangan amaliah, kerapuhan etika, dan kemiskinan dalam penalaran dan gagasan.” Sebuah pergerakan keagamaan dan sosial kemasyarkatan yang berkelanjutan.
Ikhwal Wasiat
Mengapa ada wasiat itu? Adakah sesuatu yang mengkhawatirkan? Bukankah kiai cukup paham akan arti pentingnya organisasi? Apa pula yang dimaksud dengan “jangan mencari hidup di Muhammadiyah?”
Konon, di balik wasiat itu, memang ada semacam kekhawatiran pada diri kiai. Bahkan, cukup lama kiai berpikir dan menimbang-nimbang permintaan dan desakan para pengikut dan pendukungnya untuk membentuk organisasi guna mewadahi gerakan yang telah dirintis selama lebih kurang 10 tahun, seperti pengajian, pendidikan, kesehatan, dan penyantunan fakir miskin serta yatim piatu.
Konon pula, pokok persoalan dan yang menjadikan dasar pertimbangannya, ialah bahwa setelah organisasinya terbentuk, para penerusnya lebih asyik dan sibuk dengan persoalan-persoalan rutin dan menyempit. Elan vitalnya sebagai organisasi gerakan dakwah yang berwawasan pembaruan atau tajdid menjadi tumpul. Kurang peka terhadap persoalan-persoalan nyata yang dihadapi oleh umat dan bangsanya.
Berpegang Wasiat
Bersyukurlah generasi penerus cukup istikamah dan penuh rasa tawadu dapat terus menumbuhkembangkan Muhammadiyah, baik kegiatan dan organisasinya maupun pemikiran dan wawasan keagamaannya. Meski harus melalui liku-liku perjalanan panjang, baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka, berbagai rintangan dan tantangan, terutama dalam menghadapi dan menyikapi kebijakan politik kebangsaan dan kenegaraan, dapat dilalui hingga mampu hidup dan berperan melintasi zaman dan mencapai usia “satu abad” (1330-1431 H). Tetap utuh, tidak cerai-berai. Dan, terhindar dari apa yang digambarkan Al-Quran dalam bentuk metafora: “Seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai kembali.”
Sebagai organisasi yang mempunyai massa berlapis-lapis dan kegiatan keagamaan serta sosial kemasyarakatan di tingkat komunitas basis, Muhammadiyah keberadaannya memang telah menyatu dan menjadi bagian dari bangunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu, berbagai aktivitas maupun kelembagaannya juga menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dengan aktivitas maupun kelembagaan yang ada, tumbuh, dan berkembang di masyarakat, termasuk di bidang politik. Dan, di bidang politik inilah sikap dan kebijakan pimpinan Muhammadiyah sering mengalami atau dihadapkan pada pilihan sulit (dilema) antara tetap mempertahankan untuk “tidak masuk” dan “masuk” dalam percaturan maupun “tarik-menarik” kepentingan dan kekuatan politik.
Pak AR Fachrudding melalui sketsa liku-liku perjalanan Muhammadiyah yang berjudul, Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah, menuturkan seputar pilihan sulit yang dialaminya. Pertama, tatkala pimpinan dan tokoh-tokoh Muhammadiyah ikut mendirikan dan mempertahankan satu-satunya partai politik Islam “Masyumi”. Kedua, tatkala menyikapi kebijakan politik Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) Presiden Soekarno. Ketiga, tatkala menyikapi kebijakan politik “Asas Tunggal Pancasila” Presiden Soeharto.
Begitu pula di era reformasi. Hampir semua jajaran pimpinan dan warga Muhammadiyah terlibat dan melibatkan diri langsung maupun tidak langsung dalam perpolitikan reformasi. Mulai dari memprakarsai berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN), pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, dan pemilihan umum kepala daerah dan wakilnya, hingga pendirian Partai Matahari Bangsa (PMB) oleh generasi mudanya. Boleh dikatakan, selama era reformasi ini penuh diliputi dan disibukkan oleh euforia politik. Dengan demikian, gerak dakwah dan tajdidnya kurang tampak terasakan.
Peneguhan Wasiat
Juli 2010. Tepatnya tanggal 3-8 Juli, Muhammadiyah menggelar muktamarnya yang ke-46. Di kota kelahirannya, Yogyakarta, muktamar ini sekaligus menandai “satu abad” perjalanan dan kiprahnya sebagai organisasi dakwah dan tajdid. Tema yang diusung adalah “Gerak Melintasi Zaman , Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama”.
Sumber : Republika, Rabu, 30 Juni 2010
ΩΩΩ
Muktamar Muhammadiyah
Oleh Azyumardi Azra
( Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta )
Muhammadiyah kembali bermuktamar pada 3-8 Juli 2010 ini di Yogyakarta yang sekaligus merupakan muktamar 100 tahun menurut perhitungan kalender Hijriyah. Organisasi yang didirikan pada 1912 di Yogyakarta oleh KH Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya kini ‘kembali ke Yogya’, mulai dari sekadar organisasi lokal di Yogya, yang segera meluas ke seluruh nusantara dengan berbagai anak organisasi dan lembaga amal usahanya.
Dalam pengamatan saya, baik di Indonesia sendiri maupun di negara-negara Muslim lain, Muhammadiyah merupakan organisasi dakwah dan pendidikan terbesar di seluruh dunia Muslim. Tidak ada organisasi Islam lainnya yang memiliki demikian banyak lembaga pendidikan — sejak dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Keberhasilan Muhammadiyah dalam bidang ini terlihat, misalnya, dari kemegahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tempat utama penyelenggaraan muktamar. Masih banyak lagi kampus universitas dan pendidikan Muhammadiyah yang tidak kurang megahnya.
Meski Muhammadiyah telah turut memberikan banyak kontribusi kepada umat dan bangsa melalui berbagai amal usahanya, jelas tantangan Muhammadiyah yang dihadapinya hari ini dan ke depan tidak semakin ringan. Sebaliknya, justru semakin berat karena kompleksitas masalah yang dihadapi umat dan bangsa juga kian beragam dan rumit. Karena itu, kian tidak mudah memecahkannya. Sebab itu, usaha Muhammadiyah menghadapi dan memberikan respons terhadap berbagai masalah tersebut tidak lagi cukup dengan paradigma lama yang selama ini dipegang Muhammadiyah, tetapi memerlukan berbagai bentuk respons dan terobosan baru. Dalam konteks ini, Muhammadiyah yang merupakan organisasi tajdid bahkan memerlukan pembaruan ( tajdid ) dalam dirinya sendiri. Tajdid yang diperlukan Muhammadiyah dewasa ini dan ke depan mesti mencakup berbagai aspek organisasi, sejak dari pandangan dunia keagamaan sampai praksis amal usaha sehari-hari.
Dalam pandangan dunia keagamaan misalnya, Muhammadiyah sejak masa kelahirannya mengusung paham tentang tajdid berupa pemurnian pemahaman dan praktik ke-Islaman dari bid’ah, khurafat, dan takhayul, yang dalam istilah Muhammadiyah disebut TBC. Berkat dakwah dan pendidikan, banyak TBC terlihat menghilang, tetapi masih terdapat pemahaman dan praktik keislaman yang jika dipandang secara sempit boleh jadi masih dapat dipandang sebagian kalangan Muhammadiyah sebagai TBC.
Berhadapan dengan realitas tersebut, di kalangan Muhammadiyah terdapat mereka yang menggunakan perspektif sangat ketat dan rigid tentang TBC. Karena itu pula, masih terdapat atau muncul kembali kesan di kalangan Muslim Indonesia bahwa Muhammadiyah menganut paham keagamaan Wahabiyah. Dalam sebuah diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo pada 19 Juni 2010, ada mahasiswa yang mempertanyakan apa beda paham keagamaan Muhammadiyah dengan Wahabiyah karena dalam pengamatannya terlihat kemiripan-kemiripan tertentu.
Memang, Muhammadiyah dan Wahabiyah sama-sama menganut paham Salafiyah. Mereka memandang bahwa Islam yang paling murni adalah Islam yang dipraktikkan kaum Salaf, yakni para sahabat Nabi SAW dan tabiin. Islam sesudah Salaf telah tercemar pemahaman dan praktik TBC. Karena itu, harus dimurnikan kembali dan pada saat yang sama juga hanya memegangi Al-Quran dan hadis sahih mutawatir.
Meskipun memiliki kesamaan seperti itu, jalan yang ditempuh Muhammadiyah dalam pemurnian Islam sangat berbeda dengan Wahabiyah. Yang terakhir ini, di bawah komando pendirinya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Sebaliknya, Muhammadiyah menempuh dakwah dan pendidikan. Dengan pencerahan dakwah dan peningkatan pengetahuan, umat dapat memahami dan mempraktikkan Islam yang murni tersebut. Dengan kata lain, pendekatan yang dianut Muhammadiyah selama ini adalah damai belaka.
Pendekatan damai dan toleran itu, bagi sebagian kalangan Muhammadiyah, dianggap kian kurang atau tidak efektif dalam melakukan perubahan dan pemurnian. Karena itu, terjadi gejala peningkatan literalisme paham keagamaan yang bukan tidak pula disertai sikap keras, kaku, dan tidak toleran di lingkungan Muhammadiyah.
Gejala dan kecenderungan seperti ini sangat boleh jadi memengaruhi perjalanan Muhammadiyah ke depan. Secara historis dan sosiologis, gejala-gejala seperti itu terlihat tidak pernah mendapat ruang besar dalam masyarakat Indonesia. Jika kita boleh menganjurkan, Muktamar Muhammadiyah kali ini perlu memperteguh kembali pemahaman dan sikap keagamaan yang damai, toleran, dan washatiyyah — jalan tengah.
Sumber : Republika, Kamis, 01 Juli 2010
ΩΩΩ
Muhammadiyah Satu Abad
Oleh Agus Basri
( Staf Ahli Wakil Ketua MPR RI )
Pada sepotong pagi nan sepi, seorang peserta muktamar Muhammadiyah tampak celingukan di dekat Tugu Malioboro, Yogyakarta. Sembari memanggul koper, peserta yang datang dari jauh (luar Jawa) ini tak tahu ke mana dan bertanya pada siapa. Ia kemudian dihampiri seorang sesepuh berpeci dengan tubuh agak besar dan berkacamata, yang menanyakan hendak ke mana anak muda yang tampak bengong ini. Seketika, pemuda lincah ini menjawab akan mengikuti muktamar Muhammadiyah, tetapi tak tahu arahnya. Orang tua ini segera menawarkan diri mengantarkannya ke lokasi yang dituju sembari tangannya mengawe tukang becak. Dengan sangat sopan, tukang becak yang tahu betul siapa orang tua ini segera mendekatkan becak dan mempersilakannya. Tak ada kata tawar-menawar atau menanyakan hendak ke mana.
Anehnya, orang tua ini pula yang menjinjing dan membawakan koper si anak muda yang terbengong-bengong itu. Sesampai di lokasi muktamar, orang tua ini pula yang turun duluan dengan menjinjing(kan) koper, diikuti pemuda klimis di belakangnya. Sesepuh itu menunjukkan tempat yang dituju. Sampai di pintu gerbang, menaruh koper dan “mempersilakan” pemuda itu dengan ibu jarinya secara sopan. Sekumpulan orang yang melihat adegan satu episode ini pun terbengong-bengong, seakan sudah lupa dan tak sadar bahwa untuk ke sekian kalinya sesepuh yang amat dihormati itu melakukan hal serupa. Anak muda itu kian bingung dan “seperti terpelanting” manakala diberi tahu bahwa “si pembawa koper” yang mengantarkannya — yang sudah pergi dengan becak tadi — adalah Pak AR Fachruddin, ketua umum PP Muhammadiyah, priagung yang paling dihormati di Muhammadiyah lantaran ilmu, amalan, kesantunan, dan satu-satunya tokoh panutan.
Cerita yang sudah diembus angin zaman tiga dekade dan (kadang-kadang saja) masih menjadi cerita yang melegenda ini tidak saja menjadi contoh kepemimpinan seorang Pak AR (baca: Pak A-Er), yang mencerminkan keteladanan kepemimpinannya yang tawadhu dan rendah hati, tapi juga (menjadi) pencitraan Muhammadiyah sebagai organisasi.
Organisasi tidak (dibawa) ke mana-mana, tapi dengan apik dapat diterima di mana-mana, di berbagai (policy) perjamuan. Sampai kemudian, ada yang mengatakannya menjadi: Muhammadiyah ada di mana-mana, itu juga berarti berada di mana-mana. Bahkan, kemudian diartikan, ada orangnya yang dipasang (juga memasang) ke mana. Maka, menjadilah makna yang sesungguhnya, seperti terus bergulir seiring dengan perjalanan waktu, dan — sungguh eloknya — mengalami “penggerusan makna”. Sehingga, menjadi pengertian yang terakhir bahwa Muhammadiyah ada di mana-mana, bahkan pemimpinnya (bisa juga dibaca atau ditambahkan: mengirim orang) ke mana-mana.
Kini, menyambut Muktamar ke-46 Muhammadiyah di Yogyakarta, organisasi yang mengaku modern sudah sejak awal kelahirannya dan telah memasuki usia 100 tahun alias seabad ini bakal menjadi gerakan pencerahan yang menjangkau zaman di hadapan. Untuk itu pula, tak mengherankan perhelatan akbar ini bakal dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui teleconference dari Kota Madinah Al-Munawwarah. Ini menunjukkan bahwa kemodernan zaman tak terkendala oleh teritori dan waktu, sekaligus cerminan sebagai organisasi yang berkemajuan, yang menjemput zaman –sebagaimana dikehendaki pendiri dan Bapak Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Segudang amalan Muhammadiyah yang berjibun, dari pendidikan tingkat kanak-kanak hingga perguruan tinggi, rumah sakit, dan perbankan sampai panti yatim piatu — sebagai bukti pengamalan teologi Al-Ma’un dari Ahmad Dahlan, mencerminkan gurita organisasi yang kian membesar. Namun, sejumlah kritik terlontar yang mengatakan bahwa Muhammadiyah telah kehilangan kreativitas dan makna kemodernan sebagaimana yang dikehendaki Kiai Dahlan. Sejumlah tokoh internal dari kalangan Muhammadiyah tak kurang menyentil-nyentil persyarikatan ini bagai raksasa yang keberatan badan dan kurang leluasa bergerak. Jangan-jangan malah sudah (merasa telanjur besar) kurang leluasa mengendalikan diri?
Muhammadiyah tak mampu menerobos sekat zaman di hadapannya dan tak pula kini menjadi unggulan sebagaimana pada masa awal kelahirannya yang amat terkenal dengan sekolah sistem klasikal dan pelurusan arah kiblat (masjid) — sesuatu terobosan dan “revolusi hasil pemikiran luar biasa” yang amat menggemparkan umat manusia pada awal abad ke-20 (tahun 1912).
Maka, tak mengherankan jika pada Muktamar Satu Abad Muhammadiyah kali ini, panitia bertekad mengangkat tiga isu besar: keumatan, kemasyarakatan, dan kebangsaan. Ketua Panitia Pengarah Muktamar, Haedar Nashir, misalnya, mengingatkan terjadinya krisis sosial budaya di masyarakat jamak. Termasuk, memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan dan disorientasi nilai keagamaan yang “meluasi” segenap warga negara. Pun, memudar pula kohesi dan integrasi sosial. Ini mengakibatkan munculnya perilaku menyimpang, kekerasan, dan penyalahgunaan yang berujung pada rusaknya moral bangsa dan parahnya kerusakan lingkungan hidup.
Inilah yang oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, disebut sebagai “buta aksara moral” atau “mata hati yang buta”. Sesuatu yang bisa jadi tak lepas dari lemahnya keteladanan dan ketiadaan tokoh panutan. Pun, lemahnya terobosan kreativitas yang mengempang zaman.
Untuk “menyelesaikannya”, tentu saja melalui pendidikan karakter bangsa. Dien, dalam pertemuannya dengan pimpinan MPR RI, bahkan menyebut contoh berbagai bentuk terobosan dan kreativitas brilian pimpinan MPR RI yang merangsek mendatangi ormas dan tokoh-tokoh — bahkan, katanya, sekelas Abu Bakar Ba’asyir.
Untuk dan dalam rangka semua itu pula, kiranya Muhammadiyah perlu meneguhkan tekad melakukan revitalisasi (pendidikan) karakter bangsa yang menjangkau jauh ke depan, ke hadapan zaman. Sehingga, elan vital persyarikatan (kembali) dapat lincah bergerak, melakukan terobosan, memutar roda yang berkemajuan dengan kreasi-kreasinya yang besar, dan menghasilkan karya besar.
Menjadi organisasi yang berpenampilan elegan, terhormat, dan bermartabat — menukik pun secara apik — serta dapat diterima di mana-mana — dalam kosakata makna yang sesungguhnya (bukan ada di mana-mana dengan ke mana-mana).
Dan, jadilah organisasi “yang mencerahkan zaman”. Rahmatan lil ‘alamin. Billahi sabilil haq. Fastabiqul khairat. Wallahu musta’an.
Sumber : Republika, Jumat, 02 Juli 2010
ΩΩΩ
Terobosan Kiai Dahlan
Oleh: Zaim Uchrowi
Terobosan. Bahasa ‘keren’-nya transformasi. Istilah itu yang selalu terbayang setiap teringat nama Kiai Achmad Dahlan. Membuat yang jauh lebih dekat. Membikin tertembus yang terhalang. Menjadikan suatu keadaan berubah secara mendasar dalam waktu yang relatif singkat. Itu terjadi sekitar 100 tahun lalu.
Saat itu, kemakmuran Belanda tengah melesat. Keadaan yang membuat negara kecil itu tak kalah pamor dengan para tetangganya yang lebih besar, seperti Inggris dan Prancis. Apalagi, dibandingkan Spanyol yang justru sedang surut. Kemakmuran itu terbangun dari akumulasi kapital di tanah jajahannya ini. Hindia Belanda.
Perkebunan yang digarap lewat program tanam paksa pasca-Perang Diponegoro dan Perang Paderi telah memberikan kemakmuran luar biasa. Dawam Raharjo menyebutkan, jika akumulasi modal itu ditanamkan untuk industrialisasi di sini, Nusantara akan menjadi kawasan paling maju di dunia. Lebih dari Amerika Serikat atau bangsa lain manapun. Tahun 1901, Raja Thailand berkunjung ke Jawa untuk belajar industri pertanian.
Alih-alih anak negeri ini mendapat berkah dari kemakmuran itu, yang terjadi justru sebaliknya. Kemiskinan adalah potret utama bangsa ini. Ditambah kebodohan dan satu lagi, kemalasan, menjadikan bangsa ini sempurna sebagai bangsa terjajah. Keadaan itu mengusik hati kiai muda Yogya yang baru pulang ‘mesantren’ di Makkah. Ia sangat yakin, bangsa dan umat harus berubah. Perubahan yang diperlukan adalah perubahan mentalitas yang berakar pada kesadaran beragama, kesadaran berbangsa, serta kesadaran sosial.
Meluruskan arah kiblat di Masjid Agung Yogya yang menggemparkan hanya salah satu sarana Kiai Dahlan untuk membuka kesadaran beragama. Beragama tak cukup dengan taklid dan dogma. Beragama perlu landasan kesadaran rasional. Peradaban Barat selama berabad-abad gelap akibat cengkeraman dogmatis lembaga keagamaan. Renaisans membebaskannya dengan kesadaran rasional hingga Barat mencapai kemajuan seperti sekarang. Kiai Dahlan membangun Renaisans serupa bagi umat dan bangsanya.
Sekolah, rumah sakit, panti asuhan, hingga ‘rumah miskin’ adalah jejak Renaisans dari Kiai Dahlan. Begitu pula, para kadernya yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Jejak-jejak tersebut tak terbentuk begitu saja. Sangat banyak tantangan hingga larangan pemerintah penjajah yang harus dihadapi. Baru tahun 1912, Kiai Dahlan boleh resmi mengorganisasikan gerakannya. Saat itu, politik etis Belanda menguat. Mereka merasa bersalah telah menjajah secara keterlaluan. Mereka ingin menjajah secara lebih manusiawi. Iklim politik diperlonggar, kegiatan kelompok keagamaan diizinkan. Bukan hanya Muhammadiyah, melainkan juga Katolik yang sebelumnya terlarang karena Hindia Belanda ini sudah dipatok sebagai wilayah misi Protestan.
Terobosan Kiai Dahlan berbuah pada kebangkitan bangsa dan umat. Indonesia merdeka. Muhammadiyah ada di mana-mana. Tapi, Renaisans umat dan bangsa belum selesai. Potret kemiskinan, kebodohan, serta moral rendah masih mendominasi wajah bangsa ini. Keadaan yang akan memaksa para kader Muhammadiyah memilih. Cukup puas mengelus-elus organisasi warisan Kiai Dahlan atau akan kembali mengobarkan semangat terobosannya?
Saya percaya para pewaris Kiai Dahlan akan memilih jalan kedua: Menggali dan mengobarkan jiwa terobosan Pak Kiai. Walaupun dengan jalan terjal. Termasuk dengan membongkar total organisasi. ‘Ormas’ sudah harus ditinggalkan, diganti lembaga dakwah, pendidikan, dan sosial modern. Indonesia sekarang dan masa depan tak lagi perlu ormas. Negara-negara maju dan makmur tidak punya ormas, tetapi lembaga profesional. Landasannya bukan lagi massa, melainkan ukuran kinerja yang jelas. Bila Muhammadiyah seperti itu, sekolahnya yang berserak diangkat untuk sekelas Al-Hikmah, Penabur, atau Insan Cendekia yang lebih maju. Muhammadiyah juga akan mampu membuat sekolah bermutu gratis seperti yang sudah mulai dikembangkan lembaga lain.
“Bangsa dan umat ini perlu berubah secara mendasar untuk maju.” Keyakinan itu yang menjadi landasan sikap dan gerak Kiai Dahlan. Keyakinan itu semestinya dimiliki seluruh umat dan bangsa ini agar dapat mengejar ketertinggalan dibandingkan bangsa dan umat lain. Tentu juga oleh Muhammadiyah yang saat ini masih berupa ormas dengan struktur dan kepengurusan ‘nggedabyah’. Muhammadiyah perlu menjadi ormas pelopor: berani dan mampu mengubah diri menjadi lembaga modern. Lembaga yang ramping, efektif, berspirit tinggi, dengan ukuran kinerja jelas. Muhammadiyah seperti itulah, bukan Muhammadiyah ‘kopong’ seperti sekarang, yang dibangun Kiai Dahlan.
Sejarah menunggu apakah Din Syamsuddin dan para tokoh Muhammadiyah lain memang mempunyai integritas dan kapasitas sebagai pewaris Kiai Dahlan, yang mampu membuat terobosan bagi umat dan bangsa. Muktamar Muhammadiyah sekarang menjadi cerminnya.
Sumber : Republika, Jumat, 02 Juli 2010
Cianjur, Ahad , 4 Juli 2010 | 21:05
Jul 04, 2010 @ 22:22:17
Semoga dengan muktamar ini membawa perubahan di kalangan umat khususnya dan Peradaban islam semakin bergerak menuju kebahagian untuk semua kalangan. amien
———————————————–
Jul 04, 2010 @ 22:28:31
(maaf) izin mengamankan KEDUA dulu. Boleh kan?!
Selamat bermuktamar buat Muhammadiyah, moga ke depan semakin menearangi dunia khususnya Indonesia
——————————————————–
Jul 06, 2010 @ 11:21:13
HIDUP ISLAM ^^
———————————-
Jul 06, 2010 @ 13:04:49
semoga tetap di jalan yang dicita-citakan
tapi ingat
godaan kekuasaan terus membayangi
apapun nama dan labelnya
—————————————————
Jul 07, 2010 @ 06:47:00
*kalimat sederhana dari pengamat yang tidak tau apa-apa tapi berharap banyak pada Muhammadiyah…
————————————————-
Jul 07, 2010 @ 21:27:11
sangat terharu dengan kisah pak AR fachruddin…
—————————————————
Jul 08, 2010 @ 08:21:05
Assalaamu’alaikum sahabatku Pak Abdaz
Selamat bermuktamar dan diharap resolusi yang dicapai dalam muktamar besar itu akan membuah hasil yang dapat dimanfaatkan oleh semua lingkungan yang mengharapkan yang terbaik untuk ummah.
Salam mesra dari saya di Sarawak, Malaysia.
——————————————————
Jul 08, 2010 @ 11:30:10
Sukses terus untuk muhammadiyah…
……… Insya Allah kedepannya Muhammadiyah tetap menjadi salah satu ormas Islam terdepan dalam memajukan SDM umat Islam di Indonesia…
——————————————————-
Jul 08, 2010 @ 11:32:55
Salam haneut kang.. 😀
Sukses untuk Kang Abdul Aziz sekeluarga….
Bagaimana PSB? Sukses? hehe…
Wassalamu’alaikum…
——————————————–
Jul 09, 2010 @ 00:10:48
Semoga Muhammadiyah menjadi pelopor dalam setiap usaha menjadikan negara dan bangsa ini untuk lebih maju.
————————————————
Jul 09, 2010 @ 07:47:31
Saya kenal Muhammadiyah sejak saya Sekolah Dasar. Dunia pendidikan dan kesehatan adalah yang begitu saya kenal. dan Juga Tarbiyah di daerah terpencil. menjadi kader Muhammadiyah membuat saya menjadi mengerti begitu banyaknya tantangan di masa mendatang. Semoga dengan Hasil Mukatamr dan pimpinan yang baru bisa melahirkan suatu tujuan semula Muhammdiyah untuk social kemasayrakatan.
————————————————–
Jul 09, 2010 @ 08:23:20
Assalamualaikum ww – selamat berdakwah melalui sekolah dan rumah sakit.. semoga Muhammadiyah tambah baik – salam saya 😀
————————————————
Jul 14, 2010 @ 15:54:37
Semoga ormas muhamadiyah terus maju dan semangat. thx dan saya tunggu kunjungan anda di blog saya.
Sep 25, 2010 @ 23:17:56
kebetulan saya turut serta mjd penggembira perhelatan ini 🙂
Dec 06, 2011 @ 07:36:33
Semoga Mukhtamar ini bisa menjadi tuntunan, sesama muslim
Mar 24, 2015 @ 20:19:06
sukses selalu buat muhammadiyah. salam kenal buat adminnya