Muhammadiyah

…………………………………………………

Pembaruan Muhammadiyah

Oleh Syahruddin El-Fikri

Fikih Al-Maun menjadi salah satu solusi dalam upaya membebaskan bangsa Indonesia dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.

Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah telah memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam memajukan bangsa. Hal itu dilaksanakan dengan konsep tajdid (pembaruan) yang diusungnya. Konsep pembaruan yang dikampanyekan Muhammadiyah, tidak terlepas dari gagasan, pola pikiran, serta tindakan dari sang pendirinya, KH Ahmad Dahlan.

Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abdul Wahhab, dan Ibnu Taimiyah, mempunyai pengaruh besar dalam diri KH Ahmad Dahlan. Pemikirannya, sedikit banyak, dipengaruhi oleh aliran pembaruan yang dibawa oleh para tokoh tersebut dalam upaya melakukan pembaruan terhadap pemahaman keagamaan di Tanah Air.

Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Islam Murni dalam Masyarakat Petani (2000), ada tiga hal pokok yang menjadi program pembaruan (tajdid) dan pemurnian (tarjih) Muhammadiyah saat didirikan oleh KH Ahmad Dahlan. Ketiga persoalan pokok masyarakat, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme.

Secara umum, pembaruan dan pemurnian yang dilakukan KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, karena kondisi masyarakat Muslim Indonesia yang mengalami kemunduran, sehingga dihinggapi oleh kejumudan (stagnan) dalam pemikiran, terbelakang dalam ilmu pengetahuan, krisis akidah dalam ibadah, miskin dalam kesejahteraan sosial, dan tertindas oleh penjajahan.

Berbagai upaya pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah itu bertujuan membebaskan bangsa Indonesia dan umat Islam khususnya dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, dan penindasan. Maka, didirikanlah lembaga pendidikan, balai pengobatan atau layanan kesehatan, lembaga amil zakat, dan lain sebagainya.

Sayangnya, kata Dawam Rahardjo, cendekiawan Muslim Indonesia, konsep ideal yang diusung KH Ahmad Dahlan saat mendirikan Muhammadiyah itu, belum sepenuhnya mampu dilaksanakan secara maksimal oleh generasi penerusnya saat ini. “Muhammadiyah harus melakukan evaluasi agar tidak terjerumus dalam fundamentalisme dan puritanisme,” ujarnya.

Kini, dengan semakin besarnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan umat Islam, terutama dalam masalah kemiskinan akidah, kemiskinan intelektual, kemiskinan kreativitas, Muhammadiyah mengembangkan konsep tauhid sosial menjadi Fikih Al-Maun.

Dengan pembaruan melalui Fikih Al-Maun ini, diharapkan umat Islam dan bangsa Indonesia, terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral dan akidah, serta ketertindasan.

Muktamar Muhammadiyah tahun 2010 ini, merupakan momentum yang sangat tepat untuk menentukan gerak langkah Muhammadiyah pada abad kedua di era milenium. Mampukah Fikih Al-Maun menjawab tantangan itu?

Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010

………………………………………………

Sejarah Perjalanan Muhammadiyah


1868- KH Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta, dengan nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya bernama KH Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar Kauman, Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama Siti Aminah, putri dari KH Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta.

1898– Bersama dengan 17 ulama di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan melakukan musyawarah untuk membetulkan arah kiblat beberapa masjid di Kauman, Yogyakarta.

1900-1911 – Membentuk panitia amil zakat, panitia kurban, dan menggunakan metode hisab aboge untuk melihat hilal. Pada tahun ini pula, surau KH Ahmad Dahlan dirobohkan oleh sekelompok orang. Tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah, yang mengajarkan ilmu agama Islam ataupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah itu diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dengan jumlah siswa sebanyak 29 orang.

1912: Tepatnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H, bersama dengan beberapa rekannya, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini bertujuan menegakkan amar makruf nahi munkar dan melakukan gerakan pembaruan (tajdid) pemikiran Islam. Pada tahun ini pula, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam, sebuah organisasi perlawanan melawan Belanda.

1914-1920 : Mendirikan organisasi remaja putri Sopo Tresno. Kegiatannya menyantuni anak yatim piatu. Pada tahun 1917, berdiri organisasi Aisyiyah.

1921-1930 : Pembentukan sejumlah cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta, seperti Blora, Surabaya, Kepanjen. Tahun 1922, diselenggarakan Muktamar Muhammadiyah ke X di Yogyakarta. Pada tanggal 23 Februari/7 Rajab 1340, KH Ahmad Dahlan meninggal dunia. Sejumlah sekolah Muhammadiyah memisah pendidikan putra dan putri.

1931-1940 : Pada perkumpulan tahunan ke XXIII, KH Ibrahim terpilih sebagai ketua umum Muhammadiyah. Tahun 1934, berdiri RS Muhammadiyah pertama di Yogyakarta. Kemudian, diikuti di wilayah Bandung, Sepanjang, Surabaya, Ujung Pandang, Semarang, dan Banjarmasin.

1941-1950 :
1942 Kongres Muhammadiyah ke-30 batal dilaksanakan di Purwokerto. 1943, Jepang memberikan status cabang-cabang Muhammadiyah di Jawa. Tahun 1950, diselenggarakan Muktamar I atau Kongres 31 Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah sepakat mendorong kerja sama dengan pemerintah untuk memperbaiki kerusakan akhlak, memberikan layanan kesehatan, dan membentuk kapal haji dalam organisasi Muhammadiyah.

1962-1970 : Pada masa ini, pimpinan pusat Muhammadiyah mengeluarkan kebijakan tentang interaksi Muhammadiyah dalam percaturan politik nasional. Pada 14 maret 1964, berdiri Ikatan Pemuda Muhammadiyah.

1951-1960 : Tahun 1952, kader Muhammadiyah, KH Faqih Usman, dipercaya menjadi menteri Agama untuk kedua kalinya pada kabinet Wilopo. Presiden Sukarno mengakui, Muhammadiyah memberi peran besar dalam pembangunan akhlak manusia di Indonesia. Tahun 1959, terbit majalah Panji Masyarakat.

1971-1980: Muktamar ke-38 (1971) diselenggarakan di Ujung Pandang. Tak banyak kiprah Muhammadiyah di era ini.

1981-1990:
Tahun 1989, KH AR Fakhruddin mengirim surat pada Paus Yohanes Paulus II, yang isinya meminta umat Katolik tidak menyebarkan agama pada orang yang sudah beragama dengan iming-iming makanan. Pada muktamar XLII, isu suksesi nasional menjadi agenda peserta.

1991-2000: Tahun 1993, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, mengangkat isu kepemimpinan nasional yang masih dijabat oleh Presiden Soeharto. Tahun 1998, setelah Soeharto digulingkan, berdiri partai-partai, termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori Amien Rais sebagai wadah aspirasi warga Muhammadiyah dalam pemilu 1999. Saat pemilihan Ketua MPR, Amien Rais terpilih menjadi ketuanya. Dan, Gus Dur dari NU menjadi presiden. Muhammadiyah lalu dipimpin oleh Ahmad Syafii Maarif. sya/muhammadiyah.or.id

Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010

…………………………………………………

Konsep Pembaruan Muhammadiyah

Oleh Nidia Zuraya / Damanhuri Zuhri

Pembaruan tak pernah berakhir dan akan terus berkembang dengan sesuatu yang baru.

Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit dalam memajukan bangsa. Dalam kiprahnya memajukan bangsa, Muhammadiyah dikenal luas berkat konsep-konsep tajdid (pembaruan) yang diusungnya. Konsep pembaruan yang dikampanyekan Muhammadiyah, tidak terlepas dari gagasan, pola pikiran, serta tindakan dari sang pendirinya, KH Ahmad Dahlan.

Keputusan Ahmad Dahlan remaja untuk pergi berhaji dan tinggal di Makkah selama lima tahun, telah membawanya berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran tokoh pembaru Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah.

Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Ahmad Dahlan. Jiwa dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh aliran pembaharuan yang dibawa oleh para tokoh ini yang kelak kemudian hari melalui lembaga yang didirikannya, Muhammadiyah, ia mencoba melakukan pembaharuan terhadap pemahaman keagamaan (keislaman) di tanah air.

“Namun demikian, bukan berarti pemikiran Kiai Ahmad Dahlan tentang pembaruan itu meniru mereka (tokoh-tokoh tersebut–Red). Pembaruan yang digagas oleh Kiai Ahmad Dahlan, justru lebih genuine (asli–Red),” ujar rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Dr Muhadjir Effendy,” kepada Republika.

Dalam pandangan Kiai Ahmad Dahlan, pemahaman keislaman di Tanah Air saat itu yang masih bersifat kolot akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) umat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Alquran dan hadis. Namun, ia menyadari bahwa upaya itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara saksama. Kerja sama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.

Tiga hal pokok
Dalam pengantar buku Islam Murni dalam Masyarakat Petani (2000), Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa pada waktu itu Ahmad Dahlan dihadapkan pada tiga persoalan pokok masyarakat, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme.

Persoalan modernisme telah dijawab oleh Kiai Dahlan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam yang mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Sektor pendidikan memang sejak awal berdiri dijadikan sasaran prioritas Muhammadiyah. Karena Kiai Dahlan beranggapan, melalui lembaga pendidikan sangat dimungkinkan terjadinya proses transformasi kebudayaan kepada anak didik.

Strategi yang dipilihnya adalah dengan mendidik para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta dan para calon pamongpraja (pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang. Melalui kedua cara ini diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi, karena para calon guru ini nantinya akan mempunyai murid yang banyak.

Selain itu, Kiai Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Ia mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

Sebagai jawaban atas persoalan tradisionalisme masyarakat, Kiai Dahlan melakukan tabligh. Jika di masa sekarang, kegiatan tabligh merupakan suatu hal yang biasa, namun pada zaman dahulu kegiatan itu sangat luar biasa. Mengingat kegiatan tabligh yang dilakukan Kiai Dahlan waktu itu telah melawan arus besar mainstream budaya tabligh pada umumnya.

Dengan mengedepankan motif pembaruan dan semangat berkemajuan, tabligh Kiai Dahlan justru dilakukan dengan mendatangi murid-muridnya. Padahal, tindakan demikian (guru mendatangi murid) merupakan suatu aib sosial dalam pandangan yang berkembang di masyarakat. Menurut Kuntowijoyo, strategi tabligh semacam itu merupakan langkah cerdas yang dilakukan Kiai Dahlan dalam membangun budaya baru di tengah paradigma tradisionalisme masyarakat.

Selain itu, budaya tabligh yang diubah oleh Kiai Dahlan adalah kecendrungan umum para ulama yang memiliki tradisi oral (lisan) dalam menyampaikan dakwah. Dalam hal ini, Kiai Dahlan mengubah tradisi lisan menjadi budaya tulis-menulis. Langkah perubahan ini dapat diihat melalui usaha Kiai Dahlan saat mendirikan majalah berbahasa Jawa, Suwara Muhammadiyah.

Adapun dalam rangka menghadapi Jawaisme, menurut Kuntowijoyo, Kiai Dahlan justru menggunakan metode positive action (dengan selalu mengedepankan amar makruf), dan bukannya menyerang tradisi serta kepercayaan Jawaisme (nahi mungkar). Sebagai contoh, mengenai persoalan arah kiblat.

Penjajahan yang berlangsung pada masa Kiai Dahlan menyebabkan kehidupan beragama di kalangan umat Islam mengalami kemerosotan. Praktik-parktik ibadah yang dijalankan umat Islam pada saat itu bercampur dengan tradisi masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah banyaknya bangunan masjid di Tanah Jawa yang pembangunannya tidak didasarkan untuk kepentingan agama, tetapi didasarkan untuk kerapian pembangunan negara. Akibatnya, banyak masjid yang kiblatnya tidak tepat ke arah Masjidil Haram di Makkah.

Hal ini dilakukan Kiai Ahmad Dahlan, karena kepakarannya dalam bidang ilmu falak. Kiai Ahmad Dahlan pun berusaha untuk membenarkan arah kiblat Masjid yang menjadi tempat ibadah kaum Muslimin Indonesia, terutama di Yogyakarta.

Masa kini
Muhadjir menjelaskan, ketiga hal tersebut, menjadi landasan pembaruan bagi warga Muhammadiyah saat ini. Ketiga hal pembaruan yang sempat dilakukan Kiai Ahmad Dahlan kini lebih dikonkretkan lagi ke dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

Pendidikan yang dulu harus identik dengan Arab, diperbaiki dengan mengadopsi ala Barat. Siswa bersekolah memakai celana. Dalam bidang kesehatan, dikembangkan berbagai balai pengobatan dan rumah sakit. Sedangkan dalam bidang kesejahteraan sosial, Muhammadiyah memperbanyak lembaga-lembaga kesejahteraan sosial peduli umat, baitul mal, dan lain sebagainya.

“Pada prinsipnya, gerakan pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah, tak akan pernah berhenti,” jelas Muhadjir yang juga wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.

Pernyataan senada juga diungkapkan Prof Yunahar Ilyas, ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menurutnya, pembaruan atau tajdid yang dikembangkan Muhammadiyah adalah tetap melakukan pemurnian. “Pembaruan itu tidak akan pernah berhenti,” jelasnya. ed: syahruddin e

Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010

…………………………………………………

Gerakan Pembaruan Muhammadiyah di Era Modern

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang menekankan amar makruf nahi mungkar telah berkiprah dalam rentang waktu satu abad. Dengan masa sepanjang itu, Muhammadiyah sudah melewati berbagai tahapan atau periodisasi zaman di Indonesia. Dari mulai zaman penjajahan (1912-1945), zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), zaman Orde Baru (1966-1998), dan zaman Reformasi (1998-sekarang).

Masa-masa tersebut dilalui Muhammadiyah dengan sangat dinamis. Jika pada awal berdiri, Muhammadiyah hanya fokus pada persoalan pemurnian agama, karena realitas masyarakat yang banyak melakukan taklid, bidah, dan khufarat. Maka, di zaman penjajahan juga terdapat pandangan perlwanan terhadap penjajah. Sementara pada masa awal kemerdekaan, banyak di antara tokoh Muhammadiyah yang berperan dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa ini.

Di saat Orde Lama berkuasa, Muhammadiyah secara perlahan mulai ikut terlibat dalam kegiatan politik praktis. Terseretnya Muhammadiyah pada politik praktis karena Muhammadiyah menjadi anggota istimewa dalam Partai Masyumi. Sementara di bawah kekuasaan Orde Baru, kiprah Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan berjalan statis. Hal ini disebabkan kuatnya tekanan pemerintahan rezim Orde Baru yang mampu ‘mengebiri’ gerakan-gerakan organisasi masyarakat (ormas), termasuk Muhammadiyah.

saat Orde Baru tumbang pada 1998, Muhammadiyah mengambil peran yang amat vital. Gerakan reformasi yang digagas oleh sejumlah elemen masyarakat, telah memunculkan figur Muhammadiyah, Amien Rais, sebagai aktor reformasi. Namun, di era reformasi yang mengusung kebebasan berpendapat, masih banyak kalangan menilai ide-ide dan suara Muhammadiyah justru tidak tampak di permukaan.

Dalam tulisannya yang berjudul “Etos Pembaharuan Kyai Ahmad Dahlan”, guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Abdul Munir Mulkan mengungkapkan, saat ini Muhammadiyah hanya sekadar meniru Kiai Ahmad Dahlan, tanpa tahu gagasan dan etos gerakannya. Kebesaran Muhammadiyah sebagai organisasi kini mengarah pada rutinitas semata, serta tidak dapat dilepaskkan dari pengulangan-pengulangan gagasan sebelumnya.

Jika mengacu pada gagasan KH AR Fachrudin dengan istilah ‘Islam yang menghidupkan’ seharusnya Muhammadiyah mampu berkontribusi di negeri ini. Namun, yang berlangsung saat ini adalah pemikiran Muhammadiyah terkesan tidak membumi lagi. Gerakan amaliyah yang digalakkan Kiai Dahlan kini tampak eksklusif, hanya dirasakan langsung oleh kader-kader Muhammadiyah.

Mengenai hal ini, Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, saat ini gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaruan telah mengalami kemunduran. Sebab, banyak kecenderungan pergerakan yang berjalan di tempat. Padahal, ungkapnya, sebagai suatu gerakan organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah seharusnya memberikan pemikiran ke depan.

Kemunduran yang berlangsung di tubuh Muhammadiyah saat ini, dinilai Haedar, juga tidak terlepas dari kurangnya para kader dan generasi penerus Muhammadiyah dalam meneladani generasi pendahulunya. “Usulan Buya Hamka tentang majelis tarjih dan kebebasan berpikir perlu dipertimbangkan lagi,” ujarnya saat peluncuran dan bedah buku Haedar Nashir yang berjudul Muhammadiyah Gerakan Pembaruan di Jakarta, akhir April lalu.

Sementara dalam pandangan Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Bachtiar Effendy, peran sosial ormas Islam seperti Muhammadiyah saat ini mengalami penurunan. Penurunan ini akibat pengurus ormas terjun ke ranah politik. Pada masa Orde Baru, saat organisasi keagamaan dilarang berpolitik, justru banyak madrasah, pesantren, serta rumah sakit yang dibangun Muhammadiyah. Sementara pada masa sekarang, tak ada satu pun yang mereka bangun yang merupakan amal keagamaan. Kalaupun ada, menurut Bahtiar, hanya melanjutkan apa yang sudah ada.

Bachtiar mengungkapkan, pada masa pemerintahan Soeharto, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah masih mempunyai nilai tawar sangat besar. ”Meski bersikap otoriter, pemerintahan Orde Baru saat itu selalu mempertimbangkan Muhammadiyah,” katanya.

Kondisi sebaliknya justru terjadi di masa sekarang. Menurut Bahtiar, pandangan-pandangan pemuka agama, baik dari Muhammadiyah maupun organisasi Islam lainnya, sekarang ini tak terlalu diperhatikan pemerintah. Menurut dia, kondisi ini mengerikan.

Ia mengatakan, untuk mengembalikan fungsi organisasi keagamaan pada fitrahnya, para pemuka agama di organisasi keagamaan jangan terlibat politik praktis. Sebab, Muhammadiyah merupakan representasi organisasi keagamaan Islam di Indonesia yang secara historis telah memiliki kedekatan dengan masyarakat. Maka, diharapkan, Muhammadiyah kembali fokus pada masyarakat.

Menurut cendikiawan Muslim Indonesia, Dawam Rahardjo, saat ini Muhammadiyah belum mampu mengembangkan sepenuhnya ajaran pendirinya, KH Ahmad Dahlan.
“Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, ajaran pendiri Muhammadiyah seperti tauhid sosial, tak berkembang,” ujar Dawam saat peluncuran buku Satu Abad Muhammadiyah, Mengkaji Ulang Arah Pembaruan, Kamis (1/7) di Yogyakarta.

Menurutnya, tauhid sosial yang terdiri atas dua pilar, yakni dimensi hubungan Tuhan dengan manusia, dan manusia dengan sesamanya yang diwujudkan dengan amal perbuatan, mulai kehilangan rohnya. Karena itu, kata dia, Muhammadiyah harus segera melakukan evaluasi agar tak terjerumus pada fundamentalisme dan puritanisme. nidia z, yulianingsih ed: syahruddin e

Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010

…………………………………………

Tajdid ala Pembaru Islam

Oleh Nidia Zuraya

Gerakan pembaruan dilakukan karena terjadinya krisis akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam pemikiran.

Gerakan pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah tidak terlepas dari ide, gagasan, dan pemikiran sejumlah tokoh ternama yang menjadi pelopor gerakan kebangkitan Islam. Mereka antara lain Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridla.

* Ibnu Taimiyah
Dalam tulisannya yang berjudul “Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam”, Haedar Nashir memaparkan bahwa jatuhnya Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam.

Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan.

Dalam kondisi yang demikian itulah, muncul gerakan untuk memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana dipelopori oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) untuk memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.

Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan al-ruju’ ila al-Qur’an wa As-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah). Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh), yakni praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.

Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.

* Muhammad bin Abdul Wahhab

Pembaruan yang dipelopori Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Djauziah (1292-1350 M), terutama dengan tekanan pada pemurniannya. Bahkan, tiga abad setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) di jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras.

Kemunduran dunia Islam, baik dalam lapangan keagamaan maupun politik dan peradaban, pasca kejatuhan Baghdad dan Andalusia, sungguh meluas dan berlangsung beberapa abad. Umat Islam tertidur lelap dalam kejumudan dan ekspansi negara-negara Barat, hingga lahirlah gerakan pembaruan fase kedua. Di antara gerakan pembaruan yang lahir pada fase kedua itu (abad ke-18) ialah gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Nejd, Arab Saudi.

Munculnya gerakan Wahabiyah ini tidak terlepas dari kondisi umat Islam di wilayah jazirah Arab saat itu yang mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik yang dianggap telah muncul sifat-sifat kemusyrikan, bidah, dan takhayul. Hal ini sebagai akibat dari semakin jauhnya spirit Islam dari sumbernya yang asli. Selain itu juga karena pengaruh dari praktik-praktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Berbeda dengan para pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab lebih menekankan pada pemurnian yang lebih praktis dan cenderung keras.

* Jamaluddin Al-Afghani
Pada periode selanjutnya, gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan politik yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru lainnya, Jamaluddin Al-Afghani (1838-1797 M). Ia merupakan sosok pembaru yang memiliki karakter kuat dan dinamis. Al-Afghani hijrah dari satu negara ke negara lain, dan di setiap wilayah yang dikunjunginya selalu menimbulkan keguncangan politik. Antara lain di Afghanistan, India, Mesir, Turki, Makkah, Inggris, dan Prancis.

Saat menunaikan haji, Al-Afghani tergerak oleh suasana menyatunya umat Islam seluruh dunia. Dari situ, lahirlah gagasan untuk menggerakkan Jami’ah Islamiyyah, yang merupakan ikhtiarnya untuk mempersatukan umat Islam sedunia yang oleh para ahli Barat kemudian disebut Pan-Islamisme.

L Stoddard dalam The New World of Islam memaparkan, konsep Jami’ah Islamiyah yang dikembangkan al-Afghani, berbeda dari pandangan tentang Pan-Islamisme pada umumnya. Pan-Islamisme dalam pandangan umum merupakan konsep persatuan umat Islam sedunia dalam bentuk kekhalifahan Islam.

Sedangkan spirit Jami’ah Islamiyah ala Al-Afghani, bertujuan mempersatukan umat Islam seluruh dunia, namun tidak menghendaki satu kepala negara atau satu khalifah untuk seluruh dunia, sebagaimana konsep Pan-Roma yang berlaku di dunia Kristen.

Konsep satu khalifah atau satu kepala negara untuk dunia Islam, menurut Al-Afghani, tidaklah mungkin. Jami’ah Islamiyah menghendaki persatuan umat Islam sebagai kekuatan bersama untuk membebaskan dirinya dari penjajahan dan membangun kekuatan bersama.

* Muhammad Abduh
Di tangan Muhammad Abduh (1849-1905), gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan yang lebih kuat dalam bidang pemikiran dan pendidikan. Abduh dikenal sebagai sosok pembaru dunia Islam yang memiliki pemikiran cemerlang. Dalam pandangan Haedar Nashir, karakter pemikiran dan kiprah pembaruan tokoh dari Mesir ini, relatif memiliki kemiripan dengan pemikiran KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Harun Nasution dalam bukunya “Muhammad Abduh dan Teologi Rasional” memaparkan ide-ide pembaruan Muhammad Abduh. Pertama, menyangkut pembaruan pemikiran keagamaan. Menurut Abduh, umat Islam mengalami kemunduran karena dihinggapi kejumudan dalam berpikir, sehingga tidak mengalami kemajuan

Kedua, masalah pendidikan. Abduh mengkritik umat Islam yang tenggelam dalam kebodohan, terkungkung dalam tradisi yang membuahkan umat terbelakang dan mudah dibodohi oleh penguasa. Dia juga mengkritik kebiasaan taklid terhadap ulama dan pemujaan yang berlebihan terhadap wali dan syekh. Karena itu, diperlukan pembaruan sistem pendidikan di lingkungan umat Islam yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Ketiga, dalam bidang politik. Abduh menekankan pentingnya pendidikan politik bagi rakyat melalui sekolah, surat kabar (media massa), dan dakwah dalam mengetahui hak-haknya. Dia juga berpandangan bahwa pemerintah harus benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat. Penguasa sangat mungkin melakukan kesalahan, maka rakyat boleh mengingatkannya.

Keempat, menghadapi serangan pemikiran Barat. Abduh berpandangan hal-hal dari Barat atau dunia modern boleh diambil sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Islam bahkan agama yang sesuai dengan kemodernan. Namun, Abduh juga menangkis dan membela serangan pemikir-pemikir Barat yang salah paham dan keliru pandangannya tentang Islam.

* Muhammad Rasyid Ridla
Di Mesir, selain Muhammad Abduh muncul Muhammad Rasyid Ridla (1856-1935 M), murid dan kawan Abduh yang meneruskan gagasan-gagasannya. Perjumpaan dengan Al-Afghani dan Abduh, membuatnya menyerap pikiran-pikiran pembaruan.

Tetapi, berbeda dengan Abduh, Ridla lebih terbatas dalam memberi ruang pada akal dan masih terikat kuat pada pemikiran Ibnu Hanbal, Ibnu Taimiyyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Ridla tidak sebagaimana Abduh juga lebih terbatas dalam menerima pemikiran Barat, kendati mengakui pentingnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana negeri-negeri Barat. Sikap lebih keras terhadap Barat tampak pada pemikiran Ridla. Pemikiran pembaruan Rasyid Ridla tidak seberani dan semaju pemikiran Muhammad Abduh. ed: syahruddin e

Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010

………………………………………………

Fikih Al-Maun; Sebuah Konsep Pembebas bagi Kaum Tertindas


Oleh Syahruddin El-Fikri

Semangat pembaruan Islam yang dikampanyekan oleh para tokoh pelopor gerakan kebangkitan Islam-seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla-merambah hingga ke Indonesia.

Ketika wilayah nusantara masih berada dalam kungkungan penjajahan Belanda, kehidupan masyarakat dan umat Islam yang terjajah, bodoh, tertindas, memaksa sejumlah intelektual dan cendekiawan Indonesia untuk melakukan sebuah gerakan pembebasan dan pembaruan.

Di awal abad ke-20 gagasan dan pemikiran para tokoh tersebut secara tidak langsung diserap oleh para kaum intelektual Muslim yang bermukim di Pulau Jawa. Salah seorang di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan, yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912 M.

Melalui lembaga Muhammadiyah yang didirikannya, Kiai Ahmad Dahlan mencoba melakukan pembaruan terhadap pemahaman keislaman di Tanah Air. Apa yang telah dirintis oleh Ahmad Dahlan di kemudian hari dilanjutkan oleh para penerusnya, seperti KH Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Buya Hamka, dan KH AR Fakhruddin.

Bahkan, di abad ke-21 ini, memasuki Satu Abad Muhammadiyah, para intelektualnya melakukan sebuah terobosan yang cemerlang dalam upaya mencerdaskan rakyat, menciptakan kemandirian bangsa, dan terbebas dan berbagai macam penindasan dan kebodohan. Itulah konsep Fikih Al-Maun.

Mengapa konsep ini yang kemudian dikembangkan? Karena adanya pandangan bahwa umat Islam yang sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak rakyatnya yang menjadi penyandang masalah sosial, miskin, dan bodoh. Karena itu, penyelesaian masalah pokok tersebut, harus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai sebagai basis teologi.

Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar, bertanggung jawab ambil peran dalam penyelesaian masalah tersebut. Gerakan Muhammadiyah pada masa awal pendiriannya, juga dilandasi oleh kondisi ketertinggalan umat di segala bidang. Karena itu, sangat beralasan jika basis teologi dengan dasar Alquran surah Al-Maun [107], menjadi landasan dalam menyelesaikan semua problematika umat.

Menurut Muhadjir Effendy, rektor Unmuh Malang, di dalam sistematika Fikih Al-Maun yang disepakati Munas Tarjih, ada Kerangka Amal Al-Maun, yakni berupa penguatan dan pemberdayaan kekayaan fisik, moral, spiritual, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sementara itu pilar Amal Al-Maun terdiri atas rangkaian berkhidmat kepada yang yatim, miskin, mewujudkan nilai-nilai ibadah (shalat), memurnikan niat, menjauhi riya, dan membangun kemitraan yang berdayaguna.

Prof Dr Hamim Ilyas, guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pernah mengungkapkan, Fikih Al-Maun merupakan pembaruan (tajdid)  bagi Muhammadiyah dalam pemikiran keagamaan.  “Fikih Al-Maun bertujuan mengubah sistem budaya dan sosial umat.”

Sebab, kata dia, dalam Alquran, kata iman senantiasa bergandengan dengan kata amal saleh. Dengan Fikih Al-Maun ini, diharapkan umat Islam akan bisa semakin peduli dan penuh tanggung jawab terhadap persoalan-persoalan sosial.

Kendati Fikih Al-Maun ini sudah menjadi bagian dari tradisi di Muhammadiyah, namun semangatnya belum terbingkai dalam ranah teologi dan pemahaman yang luas. Anak yatim, fakir miskin, anak telantar, orang-orang jompo, dan lainnya, tak mampu berdaya, karena kurang maksimalnya pemberdayaan atas diri mereka.

Muhadjir Effendy, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, mengatakan, yatim dalam Alquran, seharusnya sudah tidak dimaknai lagi dengan orang yang kehilangan ayah atau kedua orang tuanya (yatim piatu). Tetapi, maknanya adalah orang yang tidak mampu lagi dalam memaksimalkan potensi dirinya untuk berdaya. Mereka bisa saja masih memiliki kedua orang tua, namun tak bisa mengembangkan kreativitas untuk maju.

Konsep Fikih Al-Maun yang pernah dikembangkan KH Ahmad Dahlan sejak awal mendirikan Muhammadiyah ini, dalam banyak pengamatan peneliti seperti Deliar Noer (1973) dan A Jainuri (1999), berhasil membawa warga Muhammadiyah semakin gigih dan bersemangat membebaskan para mustad’afin (orang-orang yang lemah) dari ketertindasannya. Wujud konkret dari gerakan mereka adalah pendirian beberapa panti asuhan, rumah sakit, sekolah, dan lembaga sosial.

Dalam pandangan Ahmad Najib Burhani, dosen Universitas Paramadina Jakarta, dalam artikelnya yang berjudul ‘Dari Teologi Mustadl’afin Menuju Fiqh Mustadl’afin, gerakan pembaruan dan pengembangan konsep Amal Al-Maun yang dikembangkan Amien Rais, Syafii Maarif, bahkan Din Syamsuddin, belum mampu menyosialisasikan gagasan tauhid sosial ini secara maksimal.

Apa yang dilakukan Syafii Ma’arif, tulis Burhani, dalam memelopori gerakan antikorupsi dengan semangat keagamaan, kendati sempat diikuti, namun akhirnya berhenti pada tataran diskursus. Gerakan antikorupsi tak mampu mengurangi tindak korupsi di Indonesia. Mengapa ini semua terjadi? Salah satu jawabanya adalah karena semua gagasan itu hanya berhenti pada tataran teologi, tidak diejawantahkan dalam bentuk fikih.

Bagaimana konsep Fikih Al-Maun ke depan, mampukah ia menjawab berbagai persoalan umat, dan gerakan pembaruan Muhammadiyah di abad kedua ini? Tentu layak untuk ditunggu.

Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010

………………………………………………

Prof Dr Muhadjir Effendy: Pembaruan Muhammadiyah Terus Berkembang

Ada lima pilar yang menjadi gerak langkah pembaruan di Muhammadiyah.

Saat ini, Muhammadiyah telah memasuki usia satu abad. Sebuah perjalanan yang cukup panjang. Namun, organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini, telah mampu melintasi berbagai zaman yang ada di Indonesia. Mulai zaman perintis kemerdekaan (1912-1945), zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), Orde Baru (1966-1998), hingga Orde Reformasi (1998-sekarang).

Selama rentang waktu itu, banyak kontribusi yang telah diberikan Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia. Mulai dari pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya.

Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah senantiasa konsisten memperjuangkan pemurnian ajaran Islam dan pembaruan gerak sosial. “Gerakan pembaruan Muhammadiyah tak akan pernah berhenti,” jelas Prof Dr Muhadjir Effendy, rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Kini, Muhammadiyah mengembangkan satu konsep pembaruan baru sebagai kelanjutan dari tauhid sosial yang menjadi pilar pergerakan ormas Islam tersebut, yakni Fikih Al-Maun.

Bagaimanakah konsep pembaruan Muhammadiyah? Apa tantangannya di abad kedua ini? Bagaimana konsep Fikih Al-Maun yang menjadi konsep pembebas bagi kaum tertindas, terbelakang, dan kebodohan? Berikut perbincangan wartawan Republika, Syahruddin El-Fikri, dengan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Jawa Timur ini.

Muhammadiyah adalah organisasi modern yang senantiasa melakukan pembaruan (tajdid). Bagaimana konsep tajdid Muhammadiyah itu?

Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga (majelis) dalam menjalankan tugasnya untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran). Salah satu lembaganya bernama Majelis Tarjih dan Tajdid.

Tarjih adalah pengamalan hukum-hukum agama sebagaimana tertulis dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.

Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan. Tajdid selalu berbicara prospektif. Jadi, pemurnian dan pembaruan, menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah. Organisasi ini akan diukur berdasarkan pada kedua benchmarks tersebut. Itulah konsep Kiai Ahmad Dahlan dalam meletakkan landasan dan fondasi Muhammadiyah, yang harus dilaksanakan penerusnya saat ini.

Apa contoh konkret dari gerakan pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut?
Ada tiga hal yang menjadi fondasi utama gerak langkah Muhammadiyah, yakni bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Ketiga hal ini dijalankan oleh Kiai Ahmad Dahlan yang sangat jauh “menyimpang” dari mainstream saat itu. Mengapa demikian? Karena kondisi masyarakat Indonesia yang terjajah, tertindas, terbelakang, miskin, dan selalu dibodohi oleh para penjajah. Maka, untuk memperbaiki semua itu, harus ada keberanian dalam melakukan perubahan secara menyeluruh.

Misalnya, dalam pendidikan. Pola yang dikembangkan Muhammadiyah berusaha untuk mengadopsi pendidikan Barat yang berbeda dengan paham masyarakat Indonesia saat itu. Kiai Ahmad Dahlan memperbolehkan para pelajar memakai celana bagi laki-laki untuk sekolah. Sementara itu, pendidikan semacam itu belum ada di Indonesia, kecuali Barat. Maka, dengan cara itu, diharapkan pendidikan masyarakat menjadi lebih maju. Lalu, beliau (KH Ahmad Dahlan-Red) mendirikan lembaga pendidikan untuk laki-laki dan juga perempuan. Ini kan jelas menabrak pakem masyarakat saat itu.

Kemudian dalam bidang kesehatan, beliau berusaha mendorong didirikannya balai pengobatan untuk rakyat miskin. Sebab, waktu itu banyak masyarakat Indonesia dengan kondisi ekonomi yang sangat tertinggal, sangat kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, kecuali mereka yang berasal dari kalangan bangsawan.

Dalam bidang kesejahteraan sosial, beliau membentuk lembaga amil zakat, lembaga peduli umat, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan lain sebagainya.

Kenapa ini semua dilakukan oleh Muhammadiyah?
Ini semua tak lepas dari pengalaman yang didapatkan Kiai Ahmad Dahlan saat menempuh pendidikan di Tanah Suci. Di sana, beliau mendapatkan gagasan pemikiran dari para tokoh pembaru Islam, seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, serta Rasyid Ridla. Mereka semua dikenal sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam.

Kenapa mereka melakukan itu?
Sebab, kondisi masyarakat saat itu yang mulai jauh dari nilai-nilai Islam. Cara ibadah mereka mulai bercampur dengan kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan lain sebagainya. Kemudian dalam hal pemikiran, umat Islam saat itu cenderung telah mengalami stagnasi pemikiran. Pola pikir yang dikedepankan cenderung taklid (mengikuti saja) tanpa mau mencari dasarnya. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran di masyarakat karena adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Bagi tokoh pembaru seperti Abduh, Al-Afghani, dan Ibnu Taimiyah, hal ini dapat menyebabkan taklid buta dan pemikiran umat Islam pun menjadi jumud (stagnan).

Gerakan pembaruan para tokoh Islam itu pernah menjadi polemik. Misalnya, yang dilakukan Muhammad Abdul Wahhab, yang memusnahkan semua bangunan bersejarah karena kekhawatiran akan terjadi pengultusan terhadap tokoh tertentu sehingga bisa menimbulkan kemusyrikan. Bagaimana Menurut Anda?

Tentu saja, hal itu berbeda dengan yang dikembangkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Perlu ditegaskan di sini bahwa Muhammadiyah tidak anti dengan tradisi. Muhammadiyah juga sangat menjunjung tradisi. Namun, tradisi itu tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam sebagaimana diajarkan oleh Alquran dan hadis Nabi SAW.

Berangkat dari sinilah, Kiai Ahmad Dahlan berusaha memadukan semua itu. Mengambil sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk. Istilahnya, kalau ada yang baik bisa diambil, namun kalau ada yang buruk, ya harus ditinggal. (Al-Muhafazhatu ‘ala qadimi as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Jadi, pemurnian harus dilakukan secara bertahap dan tidak dengan cara radikal atau frontal. Paham sekularisme, jika ada yang baik, ya diambil. Tapi, yang buruk, ditinggal. Modernisasi yang dikembangkan Barat, jika ada yang baik dipakai, dan jika tidak, ditinggalkan.

Jadi, gerakan pembaruan akan selalu terjadi sesuai dengan tuntutan zaman?
Betul. Gerakan pembaruan akan terus dilakukan dan tak akan pernah berhenti. Bisa saja, pembaruan yang dilakukan hari ini, tapi karena satu hal, sehingga besok sudah tidak bisa dilakukan lagi. Maka, pembaruan akan terus berlangsung. Begitulah seterusnya.

Apa makna terpenting pembaruan yang dilakukan bagi warga Muhammadiyah?

Muhammadiyah selalu melakukan gerakan pembaruan. Muhammadiyah tanpa pembaruan, ibarat makan sayur tanpa garam, maka rasanya hambar. Muhammadiyah harus selalu menjadi pelopor. Sebagai pelopor, Muhammadiyah tidak boleh kehilangan kepeloporannya. Karena itu, pembaruan menjadi kebutuhan mutlak bagi warga pergerakan Muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang.

Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.

Pada 2005 silam, Majelis Tarjih dan Tajdid telah merumuskan satu konsep baru dalam upaya membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Yaitu, dengan konsep Fikih Al-Maun. Bisa dijelaskan apa maksudnya?
Fikih Al-Maun adalah pokok-pokok pemikiran yang dikembangkan dari konsep tauhid sosial oleh pendiri Muhammadiyah. Dalam Fikih Al-Maun ini, terdapat lima pilar utama yang mesti dilakukan Muhammadiyah dalam upaya membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Kelima pilar ini bersumber dari surah Al-Maun [107]: 1-5, yaitu mereka yang disebut dengan orang-orang yang mendustakan agama.

Pertama, yadlu’ul yatim (menghardik anak yatim). Pemahaman Muhammadiyah, anak yatim itu bukan orang yang kehilangan ayah saja. Tapi, yatim yang menjadi penafsiran Muhammadiyah adalah siapa saja orang yang tidak beruntung. Mereka yang masih punya kedua orang tua, bisa saja disebut dengan yatim, bila mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari ketidakberuntungan. Mereka yang berada di kelompok ini adalah anak yatim, piatu, anak telantar, fakir miskin, orang-orang jompo, dan lainnya. Mereka Inilah yang harus diperhatikan agar mereka terbebas dari sebutan yatim.

Kedua, wala yahudldlu ‘ala tha’ami al-miskin, yaitu orang yang tidak mau memberi makan fakir miskin. Mereka Inilah yang tidak beruntung, baik secara struktural maupun kultural, baik miskin spiritual maupun material.

Ketiga, fawailul li al-Mushallin alladzinahum ‘an shalatihim sahun, yaitu orang yang suka lalai dalam shalatnya. Shalat adalah harga mati bagi setiap Muslim. Muhammadiyah akan selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan mengajak orang-orang yang enggan dan malas untuk segera melaksanakan shalat. Kami juga sedang merumuskan istilah fikih industri, yaitu bagaimana para karyawan yang sedang bekerja di pabrik atau perusahaan tertentu untuk dapat dengan mudah melaksanakan shalat tanpa harus meninggalkan pekerjaannya.

Keempat, alladzinahum yura`un, yaitu orang-orang yang suka berbuat ria atau pamer. Setiap individu Muslim dilarang berlaku ria atau suka memamerkan amal perbuatannya.

Kelima, wa yamna’un al-ma’un, yakni umat Islam itu harus suka berbagi manfaat dengan orang lain. Dengan kelima ciri ini, Muhammadiyah harus menjadi contoh untuk memberi teladan. Yadu al-‘ulya khairun min yadi as-sufla (tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah).

Muhammadiyah harus mampu melaksanakan program ini karena di situlah entry point Alquran bagi umat manusia yang disebut dengan pendusta agama. Karena itu, agar tidak mendapat julukan sebagai predikat pendusta agama, umat Islam harus mampu mengaplikasikan Fikih Al-Maun ini.

Apa tantangan tajdid atau pembaruan Muhammadiyah di abad kedua ini?

Ada dua hal pokok yang menjadi tantangan pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah. Kedua tantangan itu adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal, di antaranya adalah masalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Apakah ada kemampuan untuk mengaplikasi semua program pembaruan yang dikembangkan Muhammadiyah hingga sampai pada stakeholder (warga) Muhammadiyah.

Sedangkan, faktor eksternal atau dari luar adalah kondisi tatanan sosial yang berubah sangat cepat sehingga dibutuhkan kepeloporan Muhammadiyah untuk lebih kreatif dalam mengembangkannya. Jujur saja, sebagian program Muhammadiyah, kini telah menjadi program nasional atau diambil alih perannya oleh negara. Misalnya, tentang program pendidikan gratis. Dulu, Kiai Ahmad Dahlan berusaha memberikan pendidikan yang murah dan gratis bagi mereka yang tidak mampu. Kemudian, program itu saat ini telah diambil alih oleh negara.

Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010

………………………………………………

Majelis Tarjih, Antara Fatwa dan Problematika Umat

Oleh Damanhuri Zuhri, Dyah Ratna Metha Novia

Di Abad Kedua, Majelis Tarjih Muhammadiyah perlu menguasai bahasa pasar.

Muhammadiyah telah melalui perjalanan panjang selama satu abad. Selama melintasi satu abad pertamanya,  ormas Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 itu telah memberi sumbangsih yang begitu besar bagi bangsa Indonesia.

Selama ini, Muhammadiyah dikenal sebagai salah satu gerakan keagamaan terbesar di dunia —  dilihat dari sudut amal usaha yang dihadirkannya kepada publik. Selain itu, ormas Islam yang memiliki sekitar 30 juta itu juga telah berperan penting dalam membimbing umat dalam menghadapi masalah-masalah sosial dan keagamaan.

Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, para ulama Muhammadiyah telah berupaya menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat lewat fatwa-fatwa yang ditetapkannya.  Lantas sudahkah Muhammadiyah melahirkan fatwa-fatwa yang benar-benar dibutuhkan umat? Sejauh mana pula keputusan tarjih itu ditaati umat?

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid  PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar, mengungkapkan,  majelis yang dipimpinnya bertugas untuk mengkaji berbagai persoalan sosial dari sudut pandang agama Islam. Menurutnya, Majelis Tarjih harus mampu memenuhi kebutuhan dua kalangan masyarakat, yakni kalangan atas dan akar rumput.

”Bagi kalangan atas,  produk-produk Majelis Tarjih itu harus canggih-canggih merespons berbagai gelombang besar.  Namun, masyarakat akar rumput lebih membutuhkan bimbingan-bimbingan yang lebih praktis. Jadi, Majelis Tarjih bekerja di dalam dua tarik menarik tersebut,” tuturnya.

Menurut Syamsul, selama ini majelis yang dipimpinnya masih dipandang sebagian kalangan kurang responsif. Anggapan itu, kata dia, tak sepenuhnya benar.  Kata dia, Majelis Tajih selalu berupaya merespons berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat.

”Misalnya, Majelis Tarjih  telah mengkaji mengenai masalah korupsi,  sehingga lahirlah Fikih Antikorupsi. Selain itu, juga ada kajian-kajian tentang masalah budaya lokal,  kita juga pernah menyusun Tafsir Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang di satu sisi mendapat protes banyak, tapi di sisi lain juga banyak yang memberikan apresiasi.”

Lalu bagaimana agar fatwa-fatwa itu dipatuhi? Menurutnya, fatwa itu tak seperti keputusan pengadilan yang wajib dan bersifat memaksa. Pelaksanaannya, kata dia, lebih bersifat persuasif.

Untuk menyosialisasikannya, Majelis Tarjih turun ke akar rumput. Selain itu, sosialisasi fatwa-fatwa itu juga dilakukan oleh para mubalig di lingkungan Muhammadiyah. ”Semua fatwa Majelis Tarjih kita bukukan,” papar Syamsul.

Menghadapi abad kedua, kata dia, Majelis Tarjih dihadapkan pada tuntutan yang lebih besar. Menurut Syamsul,  di masa depan, tantangan Majelis Tarjih semakin berat, karena keterbukaan lebih luas, pilihan-pilihan masyarakat pun lebih luas, serta kebebasan masyarakat berpendapat  semakin melebar.

Kata dia, ke depan Majelis Tarjih semakin tertantang untuk menyikapi berbagai problem sosial ekonomi dan problem kemasyarakatan secara umum. Syamsul mengungkapkan, Majelis Tarjih perlu melakukan reinterpretasi kembali ajaran-ajaran agama dalam menghadapi berbagai masalah yang tidak ada habis-habisnya.

Cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra, mengatakan, di masa depan Majelis Tarjih perlu mempertimbangkan berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat saat akan menetapkan fatwa. ”Kalau hanya menetapkan fatwa dari sudut hukum saja, maka kemudian masyarakat merasa tidak perlu untuk mengikutinya, karena tidak cocok,” tutur mantan rektor UIN Jakarta itu.

Azyumardi menilai fatwa haram rokok yang ditetapkan Majelis Tarjih Muhammadiyah sudah bagus. Sayangnya, kata dia, fatwa itu tak cocok dengan kehidupan masyarakat yang sebagian besar hidup dari tembakau. Akibatnya, fatwa itu tak diikuti umat.

”Fatwa itu harus mengikuti apa yang ada dalam masyarakat, karena fatwa itu tujuannya untuk memberikan bimbingan dan memberikan panduan hukum kepada masyarakat,” tuturnya.

Ketua PP Muhammadiyah,  Prof Yunahar Ilyas, pada Abad Kedua, Muhammadiyah perlu melakukan menunggu pembaharuan jilid dua. Hanya saja, kata dia, gerakan Muhammadiyah jilid dua tidak bisa dilepaskan dari jilid satu. ”Mempertahankan apa yang sudah ada kemudian meningkatkan lagi.’

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat, Prof  Dadang Kahmad menilai, selama ini Majelis Tarjih aktif dalam merespons kondisi umat dan memberikan fatwa-fatwa sesuai dengan kebutuhan umat. Ke depan, kata dia, Majelis tarjih akan dihadapkan pada tantangan zaman yang semakin kompleks, salah satunya pengaruh globalisasi.

Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Dakwah UIN Bandung, Prof Asep Saeful Muhtadi, menilai, Majelis Tarjih sudah memaksimalkan fungsinya dalam merespons kondisi umat dan perkembangan zaman melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkannya. Hanya saja, kata di, pelaksanaan fatwa-fatwanya cenderung kurang efektif.

“Pelaksanaan fatwa di kalangan umat Muhammadiyah memang kurang efektif. Ini terjadi karena umat Muhammadiyah telah terlatih berpikir bebas dan cerdas. Sehingga mereka tidak mau menerima berbagai fatwa yang dikeluarkan begitu saja. Itu juga sebagai konsekuensi adanya otonomi berijtihad Majelis Tarjih di berbagai provinsi,” tutur Asep.

Dalam menghadapi Abad Kedua, tutur dia,  Majelis Tarjih harus melibatkan peran masyarakat dalam proses tarjih.  Menurut Asep, Masyarakat jangan hanya dijadikan objek pelaksana hasil tarjih saja. Mereka pun harus dilibatkan dalam tarjih. Hal ini bisa dilakukan dengan mendidik anak-anak untuk berpikir kritis sejak TK hingga perguruan tinggi.

Ahmad Norma Permata,  mantan ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jerman, menegaskan, Fatwa Tarjih sebaiknya bersifat membantu masyarakat memecahkan masalahnya, bukan mengatur. Karena itu menurut Norma Majelis Tarjih perlu menguasai bahasa pasar.

”Para ulama ketika mengeluarkan fatwa bahasanya seharusnya adalah melayani, bukan mengatur,” ujar Norma. Menurutnya,   saat ini perkembangan masyarakat modern yang semakin diwarnai budaya pasar. Sehingga, barang dan jasa ditawarkan secara kompetitif dan masyarakat diberi kebebasan untuk memilih. muhammadiyahonline,  ed; heri ruslan

Sumber : Dialog Jumat, Republika, Jumat, 2 Juli 2010

………………………………………………

Saatnya, Berdakwah dengan Empati

Oleh Damanhuri Zuhri, Dyah Ratna Metha Novia

Muhammadiyah perlu lebih proaktif dalam berdakwah, tak hanya  terpaku pada dakwah konvensional.

Sesuai dengan khittah-nya, Muhammadiyah telah menempatkan diri sebagai gerakan Islam amar-ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagai gerakan dakwah Islam, ormas Islam yang dibangun KH Ahmad Dahlan itu telah bertekad untuk  beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat.

Seiring bergulirnya waktu dan bergantinya zaman, Muhammadiyah pun menghadapi tantangan dakwah yang terus berubah-ubah. Kini, persyarikatan yang memiliki sekitar 30 juta jamaah itu pun mulai menapaki abad baru. Tentu saja, Muhammadiyah perlu mempersiapkan strategi dakwahnya di abad kedua ini.

Sesepuh Muhammadiyah, Prof Syafi’i Ma’arif dalam tulisannya bertajuk  Strategi Dakwah Muhammadiyah mengungkapkan, persyarikatan yang didirikan di Yogyakarta pada 1912 itu sedang dihadapkan kepada tantangan dakwah yang dahsyat.

Menurut Buya Syafi’i, proses industrialisasi dimulai secara besar-besaran pada awal 1990-an akan memberikan pekerjaan rumah (PR) yang sangat berat kepada semua gerakan Islam, khususnya Muhammadiyah, yang menyatakan dirinya sebagai gerakan modern Islam. Bahkan, kini umat dihadapkan pada era perdagangan bebas.

Sejak jauh-jauh hari, Buya Syafi’i sudah mewanti-wanti agar Muhammadiyah sudah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Ia menilai, selama ini Muhammadiyah belum mendasarkan program dan strategi kegiatan sosialnya atas dasar elaboratif.

”Akibatnya adalah bahwa Muhammadiyah tidak pernah siap merespons tantangan-tantangan perubahan sosial empiris yang terjadi di masyarakat atas dasar konsep, teori dan strategi yang jelas,” paparnya. Lalu bagaimana Muhammadiyah harus menghadapi tantangan itu?

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas, mengungkapkan, tantangan dakwah di Indonesia adalah masalah kemiskinan.  Menurut dia, kemiskinan itu berdampak langsung pada masalah kebodohan.

”Sehingga antara kemiskinan dan kebodohan itu saling melahirkan. Kebodohan melahirkan kemiskinan. Kemiskinan melahirkan kebodohan.  Ini tantangan dakwah yang pertama yang harus dihadapi.”

Menurut dia, ke depan Muhammadiyah harus berdakwah dengan cara memberi jalan keluar dari problem-problem ekonomi umat. Selain itu, kata dia,  umat juga dihadapkan pada masalah moralitas. Sekarang ini, tutur Yunahar, ada kecendrungan umat Islam telah terjebak pada materalisme, jadi serba benda.

Sebagai ormas besar, kata Yunahar, Muhammadiyah tetap memiliki keterbatasan. Tetapi secara kelembagaan, kata dia,  Muhammadiyah telah membentuk Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus untuk mengatasi tantangan dakwah yang akan muncul.

Cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra, menyarankan agar Muhammadiyah lebih proaktif dalam berdakwah, tak hanya  terpaku pada dakwah konvensional. Dakwah konvensional itu kan dakwah  bil-lisan dari mimbar masjid atau pengajian atau dakwah  bil-hal , dakwah dengan aksi sosial.

”Itu sudah bagus, tapi harus ditambah lagi dengan dakwah yang lebih bersifat empati,” tuturnya. Menurut dia, Muhammadiyah harus mengambil peran dengan berdakwah kepada anak-anak muda, remaja, serta kalangan yang miskin. ”Itu saya kira, perlu dakwah yang empati, dakwah yang bersifat personal.”

Mantan rektor UIN Jakarta itu mengingatkan, gerakan-gerakan radikal di Indonesia itu berhasil merekrut anggotanya karena menerapkan startegi dakwah personal itu. Jadi, kata dia, Muhammadiyah pun harus mulai berdakwah secara intensif dari hati ke hati.

”Jadi, tidak lagi sekadar dakwah  bil lisan , kemudian selesai itu selesai. Dakwah seperti itu tidak cukup lagi,” ungkap Azyumardi. Ia menilai selama ini dakwah Muhammadiyah masih konvensional. Untuk itu, kata dia, dakwah  bil lisan dan  bil amal yang telah dikembangkan ditambah lagi dengan dakwah  person to person.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat, Prof Dadang Kahmad mengatakan, Muhammadiyah harusmembuat berbagai konsep strategi untuk menghadapi perubahan karakter dan budaya masyarakat ke depan dalam ajang Muktamar ke-46 Muhammadiyah yang akan berlangsung pada 3-8 Juli ini.

Guru Besar Sosiologi Agama itu, mengungkapkan, tantangan dakwah Muhammadiyah pada Abad Kedua akan semakin berat. Sebab, tutur dia,  ke depan fungsi agama akan merosot dalam kehidupan sosial.  Menurutnya, agama cenderung masuk ke ranah kehidupan pribadi.

”Akibat globalisasi, informasi termasuk berbagai aliran asing juga semakin banyak dan tentu saja mempengaruhi kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Selain itu, masyarakat semakin pragmatis dan materialis,” papar Dadang. Meski begitu, kata dia,  Muhammadiyah akan tetap  konsisten dalam berdakwah.

Menurutnya, Muhammadiyah harus menjadi benteng moral. Karenanya, kata dia, semua pimpinan dan anggota Muhammadiyah harus bisa menjaga moralitasnya, baik moralitas susila maupun moralitas kepercayaan. ”Orang Muhammadiyah jangan sampai melakukan korupsi dan terlibat dengan pornografi.”

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar, mengungkapkan, ke depan persyarikatan harus membangun kemandirian ekonominya. Menurut dia, itulah tantangan dakwah Muhammadiyah.

”Pembangunan ekonomi Muhammadiyah adalah tantangan yang paling berat,”  tutur Syamsul. Saatnya, kata dia, Muhammadiyah mengembangkan semangat  entrepreneurship di lingkungan warga persyarikatan. Ia menyarankan agar Muhammadiyah memanfaatkan fasilitas-fasilitas teknologi komunikasi modern untuk berdakwah.

Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Bandung, Prof Asep Saeful Muhtadi, menegaskan, pada Abad Kedua Muhammadiyah harus lebih memperhatikan kondisi masyarakat secara lebih tajam dan responsif dalam membaca kebutuhan masyarakat.

Saat ini, kata dia, kondisi ekonomi masyarakat masih kurang bagus. “Maka Muhammadiyah harus lebih mempercepat pelaksanaan berbagai kegiatan yang mendorong perkembangan ekonomi. Ketika ekonomi sudah mapan, dan masyarakat makmur, maka mereka akan lebih mudah untuk diajarkan hal-hal yang baik seperti tentang keikhlasan dan rasa sabar.”

Asep menambahkan, para aktivis dakwah Muhammadiyah selain harus menguasai ilmu agama Islam, mereka juga harus akrab dengan  teknologi informasi  dan menguasai media. Sehingga dakwah bisa berjalan sesuai dengan perkembangan zaman. Menurutnya, kegiatan dakwah yang tidak mengikuti perkembangan zaman, bisa ditinggalkan umat. Siapkah Muhammadiyah mengahadapinya?  ed; heri ruslan

Sumber : Dialog Jumat, Republika, Jumat, 2 Juli 2010

………………………………………………

Mencetak Ulama Berilmu dan Bermoral

Oleh Damanhuri Zuhri, Dyah Ratna Metha Novia

Majelis Tarjih dan Tajdid  mengemban tugas berat dalam menyiapkan kader ulama masa depan.

Pada sebuah kesempatan, Menteri Agama Suryadharma Ali pernah mengungkapkan sebuah keprihatinannya terhadap kondisi ulama di Tanah Air. Menurut dia, saat ini, ulama karismatik yang ada di Indonesia terus berkurang jumlahnya.

”Perkembangan jumlah pondok pesantren ternyata belum diimbangi dengan lahirnya ulama-ulama karismatik yang baru. Ini seperti sebuah ironi,” tutur Suryadharma. Lalu bagaimana dengan  Muhammadiyah? Benarkah ormas Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu juga mengalami krisis ulama?

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas, mengungkapkan, kritik yang menyebutkan ormas Islam terbesar kedua di Tanah Air itu mengalami krisis ulama sudah muncul sejak Muktamar Muhammadiyah di Solo pada 1985.

”Namun, kritik itu sudah dijawab Muhammadiyah dengan mendirikani Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shabran di UMS. Itu yang melahirkan kader-kader ulama. Di Yogyakarta didirikan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PTUM). Itu sudah menghasilkan dan alumninya inden. Jadi daerah-daerah sudah pesan dulu,” papar Yunahar.

Menurut dia,  Muhammadiyah pun sudah membuat program khusus di  Malang, Jawa Timur untuk menyiapkan kader ulama. Yunahar menegaskan, Muhammadiyah menerima kritikan itu dengan mempersiapkannya. Tetapi, kata dia, melahirkan ulama tidak semudah mencetak insinyur atau doketer.

Apakah masyarakat merindukan ulama sekelas Buya Hamka? Menurut Yunahar,  di  Muhammadiyah tidak memakai istilah ulama. ”Dengan rendah hati kita katakan di Muhammadiyah sudah cukup banyak orang-orang kapasitasnya ulama atau kiai, tapi karena gelarnya professor, orang lalu memanggilnya lebih sering professor dari pada ulama atau kiai,” ungkapnya.

Pihaknya memastikan bahwa pengkaderan ulama di Muhammadiyah terus berlangsung. Bahkan, kata dia, saat ini banyak kader yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Bahkan, tutur Yunahar,  anak-anak Muhammadiyah yang studi S-2 dan S-3 di Mesir, membua majelis tarjih sendiri.

Dengan begitu, kata dia, kader-kader Muhammadiyah siap menghadapi dan menyongsong  Abad Kedua. ”Insya Allah, kita harus terus menerus menyiapkan. Kita harapkan di setiap cabang minimal ada tiga orang yang mendalami agama,”  tuturnya.

Guna merespons tantangan zaman yang makin kompleks, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid,  Prof Syamsul Anwar,  mengatakan, majelis yang dipimpinnya itu mengemban tugas berat dalam menyiapkan kader ulama masa depan.

”Akibatnya, tantangan zaman kian besar, tetapi jumlah kader ulama tak banyak,” ungkapnya. Di sisi lain, tak seperti NU yang dikenal memiliki banyak kiai, pesantren, dan ulama, di Muhammadiyah hanya dikenal beberapa nama pesantren dan kiai. Apalagi memang, kata dia, tradisi Muhammadiyah tak mengenal gelar kiai.

Menurut Syamsul, sebagian besar pesantren Muhammadiyah juga tak menonjolkan gelar kiai. Gelar itu hanya dikenal di beberapa pesantren tua, seperti Pondok Pesantren Karangasen dan Pondok Modern Muhammadiyah. Kedua pondok pesantren itu, ujar Syamsul, berada di Paciran, Lamongan, Jawa Timur.

Basis pengaderan ulama Muhammadiyah juga terdapat di Garut, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Di kedua daerah tersebut, terdapat nama pesantren yang sama, yakni Darul Arqom Muhammadiyah. Para santri di sana,  tutur Syamsul, dibekali ilmu nahwu dan sharaf.

Tanpa kedua ilmu itu,  ungkap dia, mustahil santri dapat menemukan makna nas-nas dalam Alquran dan hadis. ”Alquran dan hadis ber bahasa Arab demikian pula literatur tafisr. Jadi, kemampuan berbahasa Arab mutlak dimiliki ulama tarjih,” kata Syamsul.

Ia menegaskan  salah satu ciri ulama itu harus berintegrasi dengan masyarakat. Ia menilai bahwa simbol- simbol keulamaan atau kekiaian tak perlu ditonjolkan. Namun yang penting, bagaimana mereka terjun ke masyarakat.

Mantan rektor UIN Jakarta, Prof Azyumardi Azra, memandang Muhammadiyah tak mengalami krisis ulama. Hanya saja, kata dia, model ulama Muhammadiyah berbeda dengan Nahdlatul Ulama. Kata dia, cirri khas ulama Muhammadiyah adalah ulama yang intelek atau intelek yang ulama.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat, Prof  Dadang Kahmad menampik anggapan bahwa Muhammadiyah mengalami krisis ulama. “Kami tidak pernah mengalami krisis ulama, sebab kami selalu melahirkan ulama-ulama baru sebagai generasi penerus,” tuturnya.

Para calon ulama baru , kata dia, selalu dikader di universitas-universitas Muhammadiyah maupun di pesantren-pesantren seperti Pesantren Darul Arqom di Garut, Pesantren Al-Amanah di Tasikmalaya, dan Pesantren Sobron di Solo. Sehingga, kata dia, Muhammadiyah tidak pernah mengalami krisis ulama.

Muhammadiyah, ujar dia, tidak berusaha mencetak ulama karismatik. Alasannya, tutur Dadang,  Muhammadiyah telah melewati fase ulama karismatik. ”Saat ini Muhammadiyah malah mencetak para ulama yang rasional dan profesional. Kami sudah melaju ke tingkat rasionalitas, bukan karismatik dan tradisional lagi seperti dulu,” tutur Guru Besar Sosiologi Agama UIN Bandung itu.

Di masa depan, papar dia, Muhammadiyah membutuhkan ulama-ulama yang memiliki ilmu agama yang kuat, kajian-kajian yang mendalam, serta memiliki pengetahuan yang luas baik ilmu agamanya maupun ilmu umumnya.

Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung, Prof Asep Saeful Muhtadi, Muhammadiyah tak bisa dianggap mengalami krisis ulama. Justru, kata dia, jumlah ulama yang menguasai ilmu agama dan ilmu lainnya di Muhammadiyah semakin bertambah banyak.

”Lagi pula dalam Islam itu tidak ada pemisahan ilmu, baik ilmu agama Islam maupun ilmu umum itu berasal dari Allah SWT,” ujar dosen terbaik Departemen Agama itu. Menurut dia, hal terpenting yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah bukan menciptakan ulama karismatik, tetapi membekali para kader-kader ulamanya dengan banyak ilmu dan moral yang baik.

Di Abad Kedua, papar dia, Muhammadiyah membutuhkan ulama yang profesional serta memiliki pengetahuan dari apa yang didakwahkan. Selain itu, mereka juga harus akrab dengan teknologi informasi agar mengikuti perkembangan zaman yang modern.

Sesepuh Muhammadiyah, Prof Amien Rais, menegaskan, memasuki Abad Kedua, Muhammadiyah bakal menghadapi perang intelektual. ”Program Muhammadiyah Abad Kedua adalah menghadapi tantangan alam pikiran. Tantangan itu berupa perang intelektual untuk menekuk umat beragama,” ujar penasihat PP Muhammadiyah itu.

Karena itulah, Muhammadiyah harus memiliki tokoh dan ulama yang sanggup menjawab tantangan zamanmy1,  ed; heri ruslan

Sumber : Dialog Jumat, Republika, Jumat, 2 Juli 2010

……………………………………………

Prof Yunahar Ilyas: ‘Keputusan Tarjih Harus Dipatuhi’

Dalam kiprahnya membangun dan mengembangkan umat Islam di Tanah Air, Muhammadiyah memiliki sejumlah majelis, salah satunya adalah  Majelis Tarjih dan Tajdid. Majelis ini bertugas untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi warga Muhammadiyah, terutama masalah keagamaan.

Lewat fatwa-fatwa yang dilahirkan Majelis Tarjih dan Tajdid,  warga Muhammadiyah mendapatkan pedoman, jawaban-jawaban khususnya dalam masalah sosial keagamaan.  Tidak hanya masalah fikih tapi juga masalah akidah, akhlak dan masalah-masalah yang lain.

”Keputusan Tarjih, itu harus dipatuhi,” ujar ketua Pimpinan Pusat PP Muhammadiyah,  Prof Yunahar Ilyas kepada wartawan Republika Damanhuri Zuhri . Berikut petikan wawancara dengan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu:

Bagaimana peran Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada abad pertama dan abad yang akan datang?
Majelis Tarjih dan Tajdid itu  berkutat melayani persoalan-persoalan yang muncul khususnya masalah keagamaan internal Muhammadiyah. Sehingga warga Muhammadiyah mendapatkan pedoman dan jawaban dalam masalah sosial keagamaan. Tidak hanya masalah fikih tapi juga akidah, akhlak, dan masalah-masalah yang lain.

Bagaimana proses lahirnya fatwa di Muhammadiyah?
Majelis ini mengeluarkan keputusan-keputusannya secara bertingkat. Persoalan-persoalan harian akan selalu muncul, maka untuk menjawabnya dibentuklah Tim Fatwa. Nah, Tim Fatwa ini bersidang sekali dalam sepekan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul mulai dari masalah akidah, masalah ibadah praktis mau pun masalah hukum yang lain. Jawabannya dipublikasikan di Majalah Suara Muhammadiyah.

Sedangkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang memiliki dampak kemasyarakatan yang lebih luas, fatwanya ditetapkan  oleh Pengurus Majelis Tarjih lengkap. Masalah-masalah baru menyangkut masalah sosial kemasyarakatan difatwakan oleh Majelis Tarjih seperti fatwa tentang rokok.

Di atas fatwa yang dikeluarkan Majelis Tarjih Lengkap, ada fatwa yang dikeluarkan Majelis Tarjih Pusat yang diperluas dengan tarjih-tarjih wilayah tapi tidak sampai ke tingkat Munas. Salah satu contohnya adalah fatwa yang menetapkan bunga bank riba.

Nah, di atasnya lagi baru Musyawarah Nasional Tarjih yang terakhir diadakan pada tanggal 1-4 Maret 2010 di Universitas Muhammadiyah Malang. Kalau sudah Munas hasilnya diserahkan kepada Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk ditanfiz. Karena Majelis Tarjih sifatnya sebagai majelis yang membantu PP Muhamdiyah dalam bidang hukum.

Kalau sudah ditanfidz oleh PP  Muhammadiyah, maka menjadi keputusan Pimpinan Pusat. Nah, itu nanti dikumpulkan dalam bentuk buku yang namanya Himpunan Keputusan Tarjih. Kalau sudah menjadi Himpunan Keputusan Tarjih, itu sudah merupakan keputusan tertinggi yang mengikat secara organisasi seluruh warga Muhammadiyah.

Bagaimana sosialisasinya?
Sosialisasinya pertama melalui Majalah Suara Muhammadiyah untuk fatwa-fawa itu, kedua melalui buku Tanya Jawab Agama, lalu melalui Himpunan Keputusan Tarjih. Biasanya  para pengurus Muhammadiyah memilikinya. Belum semua Keputusan Tarjih itu dibukukan.

Fatwa-fatwa yang telah disosialisasikan itu harus dipatuhi oleh semua warga Muhammadiyah?
Ya, kalau sudah merupakan Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih, itu harus dipatuhi. Secara organisasi harus dipatuhi. Kalau ada warga Muhammadiyah yang berpendapat lain, berbeda, dia dipersilahkan mengajukan tandingannya, keberatannya. Malah Majelis Tarjih sangat mengharapkan itu.

Siapa saja yang menemukan adanya argumen-argumen di dalam Keputusan Tarjih itu yang dianggap lemah, apakah hadisnya atau pun  istidlalnya silakan disampaikan. Nanti akan dibahas ulang.  Kalau memang perlu bisa dibahas di dalam munas. Kalau  argumen  yang baru ini lebih kuat, Majelis Tarjih siap untuk mengubah keputusannya. Kita terbuka.

Sejauhmana efektivitas fatwa-fatwa yang ditetapkan majelis tarjih dalam kehidupan warga Muhammadiyah?
Kalau dalam masalah-masalah ibadah keseharian sangat efektif. Biasanya kalau kita ke daerah-daerah, acuannya selalu bagaimana menurut Keputusan Tarjih. Tantangan terberat bagi pengurus Muhammadiyah adalah harus menguasai masalah tarjihat.

Kalau begitu semua Pimpinan Pusat harus mengerti betul tentang Kepeutusan Tarjih?
Ya, semua pengurus pusat harus mengetahui. Kalau misalnya, dia mengalami keterbatasan tidak mengetahui, lebih baik dia tidak menjawab.

Bagaimana strategi dakwah Muhammadiyah di Abad Kedua? Apa saja tantangannya?
Memang dakwah itu sangat luas. Tantangan dakwah kita kalau di Indonesia ini, kita masih berhadapan dengan masalah kemiskinan. Dan kemiskinan itu berdampak langsung kepada masalah kebodohan. Sehingga antara kemiskinan dan kebodohan itu saling melahirkan. Kebodohan melahirkan kemiskinan. Kemiskinan melahirkan kebodohan.

Ini tantangan dakwah yang pertama yang harus dihadapi. Jadi tidak hanya dakwah  bil lisan , tapi juga dakwah  bil hal, yakni  memberi jalan keluar dari problem-problem ekonomi umat. Kemudian yang kedua, masalah moralitas. Sekarang ini ada kecendrungan cara hidup materalisme, jadi serbabenda.

Apa-apa diukur dengan benda, dengan materi. Sukses atau tidak sukses itu bukan dinilai dari produktivitas ilmunya. Walaupun dia sudah doktor bahkan sudah professor tapi kalau tidak sukses dari segi ekonominya, orang mungkin lebih membanggakan tamatan SD, tapi kaya raya. Itu kan gaya hidup materalistis. Pertemanan pun ditentukan dengan benda. Ini tantangan yang harus diubah.

Kemudian gaya hidup sekuler. Apakah sekularisme yang bersifat individual atau pun yang bersifat kelembagaan. Yang bersifat individual seperti dikatakan Pak Kuntowijoyo, seorang ilmuwan kalau bekerja di sebuah laboratorium, dia tidak begitu yakin bekerjanya itu mendapat pahala.

Kalau bekerja sebagai pedagang, dia tidak yakin mendapat pahala.Tapi kalau sedang membaca Alqu’an, sedang berada di masjid, sedang berzikir yakin mendapat pahala. Itu secara tidak sadar sudah gaya hidup sekularisme. Karena memang tidak dibeda-bedakan di mana pun kita, hendaknya selalu beribadah kepada Allah SWT.  ed; heri ruslan

Sumber : Dialog Jumat, Republika, Jumat, 2 Juli 2010

ØØØ

Cianjur, 5 Oktober 2010 | 21:46

4 Comments (+add yours?)

  1. Heripurwanto, S. Pd. M. Si
    Jan 04, 2011 @ 23:58:09

    Bismilahirrahmannirohim

    Muhammadiyah terus berdakwah untuk menjadikan masyarakat yang merdeka, dengan menjadikan dakwah bermanfaat bagi seluruh alam menuju kedamaian umat yang hakiki, tanpa ada rasa sombong bagi yang kaya, tanpa imperialismne , tanpa liberal yang menyusahkan umat, bahkan saling bagi kasih sayang kepada semua umat,Muhammadiyah harus mampu memetakan dakwah kepada masyarakat sehingga muhammadiyah menjadikan rahman lil ngalamin,menjadikan umat yang paling depan dalam membangun peradaban islami dengan para intelektual yang profesional dengan mengunakan pendekatan yang tepat dan benar dengan metodologi yang akura, terus maju muhammadiyah dengan menjadikan teladan umat yang paling depan ( heri ketua PDM Kab. Pontianak Kalbar)

    Reply

  2. alam isroi
    Oct 15, 2012 @ 15:09:58

    sangat bermanfaat artikelnya

    Reply

  3. rizkyardianz
    Jul 16, 2015 @ 05:42:51

    Telah hadir BUKU NU Menjawab Problematika Umat jilid 1 dan jilid 2.
    Kalau teman2 beli buku ini, teman2 akan dapat mengatasi masalah fiqih keseharian, lengkap dengan landasan hukumnya, mudah untuk dipahami.
    untuk Pemesanan, SMS/WA 089678268483/ BBM 52290182 (Ada Harga Khusus untuk pemesana via sms)

    Stok BUKU ini terbatas. Jika tidak diambil sekarang, teman2 akan kehabisan dan ada harga KHUSUS. PREORDER setelah Hari raya
    Pemesanan sebelum Muktamar NU FREE ONGKIR ke seluruh Indonesia.
    https://www.tokopedia.com/timkreatif/nu-menjawab-problematika-umat-jilid-1

    Reply

  4. Hadinagoro
    Aug 08, 2016 @ 14:04:58

    Apa sih yang menyebabkan perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU?

    Reply

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

IP
My Popularity (by popuri.us)
%d bloggers like this: