Nahdlatul Ulama ( NU )
…………………………………………………………
Nahdlatul Ulama
Ormas Islam terbesar di Indonesia ini berdiri pada 1926. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi yang mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka yang mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih Islam Sunni, terutama mazhab Syafi’i. Basis sosial NU, dari dulu hingga kini, terutama masih berada di pesantren.
Nama ormas Islam ini bermakna ”kebangkitan ulama” – mencerminkan dua aspek dari asal-usulnya. Organisasi ini merupakan bagian dari gelombang kebangkitan nasionalis yang dipimpin Sarekat Islam (SI). Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971), yang kemudian ikut mendirikan NU, dilaporkan membentuk cabang SI di Makkah pada 1913.
Setelah kembali ke Indonesia, ia mendirikan lembaga pendidikan bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) di Suarabaya pada 1916, dan organisasi ini menjadi cikal bakal NU. Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, pada saat yang sama, tantangan pembaruan yang dibawa Muhammad Abduh di Mesir turut mempengaruhi ulama di Indonesia.
”Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibnu Sa’ud yang menganut Wahabiyyah pada 1924 memicu konflik terbuka dalam masyarakat Muslim Indonesia,” papar Esposito. Perubahan-perubahan itu, mengganggu sebagian besar ulama Jawa, termasuk Hasbullah. Ia dan ulama sepaham menyadari serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut.
KH Hasyim Asyari (1871-1947) – kiai dari Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, seorang ulama Jawa paling disegani – menyetujui permintaan mereka untuk membentuk NU pada 1926. Kiai Hasyim Asyari pun menjadi ketua pertama atau rois akbar organisasi Islam terbesar di Tanah Air itu.
Berdasarkan khittahnya, NU didirikan pada 1926 memiliki tujuan sebagai berikut: meningkatkan hubungan antarulama dari berbagai mazhab Sunni; meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaiannya dengan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (orang-orang yang mengikuti sunah Nabi SAW dan masyarakat Muslim) mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat mazhab; mendirikan madrasah; mengurus masjid, tempat-tempat ibadah dan pondok pesantren.
Selain itu, berdasarkan khittahnya, NU juga bertekad untuk menjadi organisasi yang mengurus yatim piatu dan fakir miskin; serta membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan dan industri yang halal menurut hukum Islam.
Lambang NU dibuat pada 1927, secara eksplisit menggambarkan karakter tradisionalnya. Sebuah bintang besar di atas bumi menyimbolkan Nabi Muhammad SAW, empat bintang kecil , masing-masing dua di sebelah kanan dan kiri bintang besar, melambangkan empat Khulafa al-Rasyidin; dan empat bintang kecil di bawahnya melambangkan empat mazhab Islam Sunni.
Kesembilan bintang itu secara bersama-sama juga bermakna wali songo yang menyebarkan Islam di Jawa. Sedangkan, bola dunia berwarna hijau melambangkan asal-usul kemanusiaan, yakni bumi, yang kepadanya manusia akan kembali dan darinya manusia akan dibangkitkan pada Hari Pembalasan.
Tali keemasan yang melingkari bumi dengan 99 ikatan melambangkan Asmaul Husna, nama-nama indah Allah SWT, yang dengannya seluruh Muslim di dunia disatukan. ”Jadi simbol tersebut mencakup tradisionalisme Sunni, sufisme, dan khususnya, unsur-unsur Muslim Jawa dari NU,” papar Esposito.
(Disarikan dari Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern terbitan Mizan, Bandung).
Sumber : Dialog Jumat , Republika , Jumat, 26 Maret 2010
…………………………………………………………
Tantangan NU di Era Globalisasi
Oleh : Damanhuri Zuhri
Kemiskinan adalah masalah utama mayoritas Muslim di Tanah Air.
Memasuki usia ke-84 , Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia dihadapkan pada tantangan yang semakin berat, dalam bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik dan keagamaan. Perubahan zaman menuntut ormas Islam yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 itu untuk melakukan berbagai pembenahan.
Pada 23 hingga 28 Maret 2010 ini, seluruh kekuatan elite NU tengah berkumpul di Makassar, Sulawesi Selatan dalam forum Muktamar ke-32. Pada hajatan lima tahunan warga Nahdliyyin itu, berbagai masalah yang dihadapi NU akan dibahas dan dirumuskan. Masa depan ormas Islam yang diprakarsai KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul wahab Hasbullah itu akan ditentukan dalam forum ini.
Pengamat NU dari Jepang, Mitsuo Nakamura, mengungkapkan, tantangan terbesar organisasi ormas) Islam terbesar di Indonesia, saat ini, adalah mengatasi masalah kemiskinan. “Masalah utama yang dihadapi mayoritas Muslim di Indonesia adalah kemiskinan, karena itu menjadi tantangan terbesar bagi NU,” ungkap Mitsuo di sela-sela Muktamar ke-32 NU di Makassar.
NU, menurut dia, harus turut membantu pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Sesuai dengan khittah-nya, NU didirikan untuk mengurus yatim piatu dan fakir miskin dan membentuk organisasi yang memajukan pertanian, perdagangan dan industri yang halal menurut hukum Islam. Terlebih, sebagain besar warga NU – dari 45 juta orang – berada di kawasan tertinggal.
Pakar pendidikan Prof Arief Rachman, mengungkapkan, NU harus mampu menanamkan jiwa kewirausahaan atau profesionalisme. ”Ingatkan bahwa kerja itu ibadah. Jadi bekerja bukan sekadar mencari uang. Tetapi, di atas mencari uang, kerja adalah ibadah. Metode seperti apa yang dapat digunakan agar tujuan ini dapat tercapai,” paparnya.
Selain itu, menurut dia, NU harus bisa menjadi kelompok Islam yang menunjukkan disiplin dalam ibadah. Kedisiplinan itu dalam bentuk kebersihan, ketertiban, dan keteraturan. Jangan sampai umat Islam kalah dengan umat agama lainnya dalam hal ini.
Tantangan lainnya, papar Arief, NU harus dapat mengobarkan penelitian ilmiah, sehingga nantinya semua kiprah ormas Islam itui berdasarkan penelitian yang dapat dipercaya. ”Berdasarkan kekuatan ilmiah. Sehingga, NU bisa menjadi pasukan terdepan dalam Iptek,” ungkapnya.
Dirjen Bimas Islam, Prof Nasaruddin Umar, menegaskan, salah satu tantangan NU di masa depan adalah pembentukan generasi baru yang lebih berkualitas guna mengantisipasi perkembangan zaman. Selain itu, papar dia, institusi NU telah banyak yang termakan usia, sehingga diperlukan pembenahan di berbagai bidang, misalnya, pendidikan.
Pihaknya menegaskan, sudah saatnya NU berada di tangan manajemen yang profesional. ”Kita bukan hanya memerlukan leader, tapi juga memerlukan manager. Banyak leader yang baik, tapi kita butuh pemimpin yang mampu sekaligus menjadi manager. Leader-manager harus menyatu dalam sesosok pemimpin. Hal ini juga berlaku bagi badan-badan otonom NU.”
Pengamat sosial yang juga Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Prof Imam Suprayogo, mengungkapkan, di era globalisasi ini, NU menghadapi tuntutan kualitas yang semakin tinggi. Menurut dia, masyarakat yang semakin modern menuntut produk-produk pendidikan yang semakin berkualitas, kompeten dan terukur.
Diakui Imam, dalam bidang sosial, NU dalam perjalanan sejarahnya selalu tampil di depan. ”Persoalan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain semakin kompleks dan berkembang semakin cepat. NU tidak boleh hanya berkutat pada peroalan sederhana yang dari tahun ke tahun sudah dibahas. Misal, hanya sibuk ngurus soal hukum rokok dan semacamnya,” tuturnya.
Dalam bidang dakwah, Imam menyarankan agar pendekatan kultural yang dilakukan NU perlu dipertahankan. Kegiatan-kegiatan kultural seperti kegiatan tahlil , diba’, shalawat , khatmul quran , pujian menjelang shalat, riyadhoh , istighotsah , semua itu adalah bentuk dakwah yang luar biasa. Meski begitu, kata dia, NU harus menjamah wilayah dakwah yang luas dan beranekaragam itu. Inilah tantangan ke depan bagi NU.
Sementara itu, peneliti NU, Prof Asep Saeful Muhtadi, menuturkan, proses transformasi sosial kaum Nahdliyin yang terjadi pada sekitar dua dasawarsa terakhir akan menuntut kemampuan para pengelola organisasi untuk sanggup memberikan pelayanan formal, baik dalam persoalan-persoalan agama maupun dalam persoalan sosial politik dan budaya yang semakin kompleks.
”Di tengah percaturan dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, organisasi massa Islam yang mengantongi jutaan jamaah seperti UN, sulit menghindari munculnya berbagai godaan politik praktis. NU masih akan menjadi pemandangan yang sangat menggiurkan partai-partai politik,” papar guru besar Komunikasi Politik UIN Bandung itu.
Pengamat politik Islam, Fachry Ali, mengungkapkan, NU harus siap menghadapi modernisasi jika muncul otonomi individu. Menurutnya, munculnya otonomi individu dipercepat oleh proses politik. ”Inilah tantangan terbesar. NU harus jauh total dari politik. Begitu terjun ke dunia politik, akan ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dapat merusak, akan cenderung melawan siapapun juga,” ujarnya.
Agar tetap menjadi ormas Islam terbesar yang tetap berwibawa, kata dia, NU harus terpisah total dari politik. ”Janganlah memilih pemimpin dari dunia politik. Syuriah bersih dari politik, sehingga respek orang kuat terhadap para pemimpinnya. Pemimpinnya dianggap sebagai begawan. NU memerlukan pemimpin yang tidak tergoda politik,” tutur Fachry menegaskan. mg01, ed: heri ruslan
Sumber : Dialog Jumat , Republika , Jumat, 26 Maret 2010
…………………………………………………………
‘Kembali ke Khittah’
Oleh : Damanhuri Zuhri
NU perlu mempertahankan jati diri
Salah satu agenda penting Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan pada 23-28 Maret 2010 adalah suksesi kepemimpinan. Pada hajatan lima tahunan warga nahdiyah ini akan dipilih nakhoda baru yang akan memimpin ormas Islam terbesar di Indonesia – dengan jumlah anggota sekitar 45 – selama lima tahun kedepan.
Sejumlah ulama dan tokoh NU mencalonkan diri menjadi ketua umum PBNU untuk menggantikan posisi KH Hasyim Muzadi, yang telah memimpin organisasi keagamaan itu selama dua periode. Di antara tokoh NU yang menjadi kandidat ketua Tanfidziyah itu antara lain; KH Salahuddin Wahid, KH Said Aqil Siraj, KH Masdar F Mas’udi, KH Ahmad Bagja, serta KH Ali Maschan Moesa. Lantas akan dibawa kemanakah ormas Islam bernama NU ini?
KH Said Aqil Siraj, mengungkapkan, tantangan NU akan semakin berat. Karena itu, menurut dia, ormas Islam yang telah berusia 84 tahun itu harus kembali ke khittahnya, yakni dunia pesantren. ”Tantangan berat tersebut antara lain disebabkan adanya syahwat politik, era globalisasi dan tarik-menarik yang ekstrim kanan. Karenanya, NU harus mempertahankan jati diri,” ujar Kiai Said Aqil.
Menurut dia, NU akan menemukan jati dirinya, jika kembali kepada spirit dan semangat pesantren. ”NU harus kembali ke spirit pesantren. Di pesantren ada agama, di pesantren ada ilmu, di pesantren ada kemandirian, di pesantren ada kesederhanaan, di pesantren ada persaudaraan dan di pesantren ada akhlak,” papar kiai asal Cirebon, Jawa Barat itu.
Ia menegaskan, apabila NU jauh dari pesantren, maka ormas Islam terbesar itu akan kehilangan kebesarannya. ”Jika NU jauh dari pesantren akan lepas khittahnya. Perlu diingat, NU adalah penjaga visi dan misi pesantren, ” ungkapnya menegaskan. Kiai Said Aqil, menuturkan, agar tak terjebak pada godaan syahwat politik, pimpinan NU harus tegas.
Sementara itu, KH Salahaddin Wahid, bertekad membawa NU ke arah lebih baik. Termasuk bersih dari berbagai bentuk kepentingan politik partisan. Ia ingin menjadikan warga Nahdliyin sebagai masyarakat sipil yang demokratis dan kritis terhadap pemerintah. Menurut dia, organisasi NU perlu disederhanakan.
Gus Solah mengungkapkan, ada dua hal yang perlu disederhanakan. Pertama, kapabilitas, kesadaran organisasi, sera budaya organisasi. Kedua, niat berorganisasi. ”Selama kita setia pada niat yang baik, tentu NU akan semakin tumbuh menjadi organisasi yang baik pula,” tuturnya.
Menurut dia, ke depan NU perlu lebih mengembangkan ajaran mengenai ekonomi. Ia melihat masalah ekonomi belum dikembangkan secara maksimal. Sehingga, papar Gus Solah, sangat pelu warga NU untuk mengembangkan ajaran dalam bidang ekonomi. ”Bukankah hidup kita sangat dipengaruhi oleh ekonomi?”
Pihaknya memandang, sari sisi sosial ekonomi, sebagian besar warga NU adalah orang-orang yang tertinggal. ”Maka pertanyaannya adalah sejauh mana NU sebagai lembaga bisa memberikan manfaat duniawi kepada warganya. Jadi kalau pada zaman Gus Dur kita memperjuangakan demokrasi politik, maka sekarang kita harus memperjuangkan demokrasi ekonomi,” ujarnya.
Kandidat lainnya, KH Masdar F Mas’udi, berpandangan, ke depan NU harus mengakar hingga ke tingkat bawah. Sehingga, kata dia, NU mampu melayani warganya day to day . ”Program yang saya tawarkan memastikan NU sampai tingkat yang paling bawah, agar kita bisa menjangkau umat, bisa melayani umat day to day . Itu yang penting,” tutur Masdar kepada Republika .
Agar mengakar hingga ke tingkat akar rumput, Masdar mengusulkan konsep membangun NU yang berbasis masjid dan umat. ”Konsep saya, setiap masjid Nahdliyyin dibentuk kepengurusan NU lengkap. Jamaahnya menjadi warganya, sehingga pelayanan umat betul-betul sampai di tingkat akar rumput.”
Yang tak kalah penting, sambung Masdar, NU harus berperan aktif di dalam menjaga keutuhan bangsa yang bhinneka. ”NU harus menjadi kekuatan nurani bangsa. Oleh karena itu, NU harus mengikhlaskan aktivitas politik praktis kepada partai, supaya berbagi tugas. Semuanya penting, tapi kalau dicampur aduk jadi kacau,” paparnya menegaskan.
Sementara itu, KH Ahmad Bagdja, mengungkapkan, ke depan NU harus lebih menguatkan institusi. Menurut dia, potensi NU begitu besar. ”Potensi NU yang besar itu harus efektif. Untuk kepentingan pemberdayaan umat, kepentingan persatuan dan kesatuan, untuk pengokohan nasionalisme. Saya kira institusi kita harus diperkuat supaya potensi NU yang besar itu jadi efektif.”
Kiai Bagdja menilai, NU kurang fokus kepada program-program yang menjadi prioritas, misalnya, pendidikan, ekonomi dan dakwah termasuk juga bidang kesehatan. ”Ke depan betul-betul akan kita berikan perhatian yang lebih besar kepada bidang-bidang tersebut,” ungkapnya.
Soal politik praktis, papar dia, aturan yang ada di NU membebaskan semua warganya untuk menentukan pilihan politiknya. Sedangkan, institusinya ( jam-‘iyyahnya ) tidak boleh rangkap jabatan dengan partai politik. ”Tidak boleh dukung mendukung atas nama jam-‘iyyah,” ujarnya. Menurut dia, yang ada di NU bukanlah politik praktis, tapi politik kebangsaan, politik keumatan dan politik kemanusiaan.
Slamet Effendi Yusuf, memaparkan, untuk mewujudkan kebesarannya, NU harus melakukan program konkret seperti mewujudkan perguruan tinggi NU di kota-kota besa,r semisal Jakarta dan Makassar.
”Saya tidak ingin menjual wacana. Saya akan menawarkan program-program yang konkret. Untuk mewujudkan kebesaran NU dalam artian konkret, bukan hanya citra NU tapi lebih pada program seperti mendirikan Perguruan Tinggi NU di kota-kota besar seperti Jakarta dan Makassar,” tuturnya. Selamat bermuktamar. nu-online, ed; heri ruslan
Sumber : Dialog Jumat , Republika , Jumat, 26 Maret 2010
…………………………………………………………
‘NU Perlu Revitalisasi Kaderidasi
Nahdliyyah’
NU diharapkan menjadi perekat kepentingan kelompok nasional dan religius.
Perhelatan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan memberi harapan baru bagi warga Nahdliyin. Hajatan lima tahunan yang menjadi kekuasaan tertinggi organisasi itu akan menentukan perjalanan ormas Islam terbesar di Tanah Air itu. Terlebih, tantangan yang dihadapi NU di era globalisasi ini kian bertambah berat.
Sejumlah badan otonom yang berada di bawah payung NU berharap ormas Islam yang didirikan atas prakarsa KH Hasyim Asyari dan KH Abdul Wahab Hasbullah itu menjadi lebih baik. Lantas apa saja harapan dan masukan dari sejumlah badan otonom NU terhadap induk organisasinya?
Ketua Umum PP Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa berharap, ke depan NU dapat memaksimalkan lembaga-lembaga yang ada di tubuh organisasi. Menurut dia, sejak 1950-an, NU telah memiliki lembaga kesehatan, pendidikan, ekonomi, pertanian, dan lainnya. Keberadaan lembaga-lembaga itu, kata dia, membutuhkan evaluasi.
”Saya berharap dalam muktamar ini akan ada keseriusan dari muktamirin (peserta muktamar, red) untuk menjawab harapan masyarakat yang mendambakan layanan-layanan kebutuhan dasar baik dari sisi kualitas maupun kuantitas,” tutur Khofifah berharap.
Muslimat NU pun berharap agar pemimpin NU yang terpilih dalam ajang muktamar nanti bisa memahami kebutuhan umat. ”Siapapun yang terpilih, harus mempunyai kemampuan “manager leader”. Di NU banyak sosok yang memiliki kemampuan memimpin yang baik. Tapi tidak banyak yang mempunyai kemampuan ini,” ujarnya.
Khofifah mengungkapkan, NU selalu dihadapkan pada kepentingan internal, nasional, dan internasional. ”Pada tataran internasional, misalnya, NU dihadapkan pada masalah Islamofobia,” ungkapnya. Menurut dia, NU mempunyai posisi strategis yakni membangun garis moderasi, yang bertujuan untuk menempatkan Islam pada posisi ajaran.
Menurutnya, NU harus membangun opini yang proporsional, yang tidak menyebabkan Islamofobia. Sedangkan, dalam posisi nasional, papar Khofifah, NU hendaknya menjadi perekat kepentingan kelompok nasional dan religius.
Guna mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi, Khofifah mengusulkan, agar NU merevitalisasi lembaga-lembaga kaderisasi. ”Apakah (kaderirasi) sudah on the right track? Selain itu, perlu ada spesialisasi profesi di lingkungan NU. Data base mengenai ini harus divalidasi. Kalau ini bisa divalidasi, maka lembaga bisa punya peluang memiliki pelayanan yang lebih baik.”
Ketua Umum PP Fatayat NU, Maria Ulfah Anshor, berharap, ormas Islam terbesar di Indonesia itu bisa lebih baik. Paling tidak, kata dia, NU harus lebih mempunyai kekuatan bargaining. ”Selama ini, NU diklaim punya kekuatan besar, tapi belum diimbangi pemberdayaan masyarakatnya,” tutur Maria.
Menurutnya, sebagian besar masyarakat yang berada di desa-desa masih dihadapkan dengan problem kemiskinan, kesulitan mengakses kesehatan, dan ekonomi. ”Jadi harus memperhatikan urusan akses terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut. Pada level elite harus mampu mendorong pembentukan kebijakan yang pro-rakyat.”
Karena itu, Fatayat NU berharap agar pimpinan baru NU bisa memiliki kekuatan dan kemampuan bargaining. Maria menegaskan, kemampuan itu diperlukan guna mendapatkan perubahan dalam hal makro maupun mikro. Di tataran mikro, kata dia, bisa diartikan NU dapat memenuhi kebutuhan dasar warga desa.
”Sedangkan dalam tataran makro, harus mampu mendorong perubahan kebijakan yang pro-rakyat. NU, meskipun bukan partai politik, namun ia diakui sebagai civil society, sehingga mempunyai kekuatan baru untuk membawa perubahan,” papar Maria menegaskan.
Karenanya, tutur dia, NU harus melakukan penguatan sumberdaya manusia (SDM). Karenanya, kata Maria, NU perlu mengembangkan pendidikan baik formal maupun nonformal. Sebagai penyeimbang pemerintah, imbuhnya, NU dengan kekuatan besarnya harus memberi kontribusi kepada negara.
”Kontribusi ini dalam hal pendidikan serta ekonomi. Dan yang terutama pendidikan kritis. Masyarakat harus kritis supaya tidak mudah dipengaruhi kepentingan politik praktis,” ucapnya.
Sekjen Ikatan Putra NU (IPNU), Khairul Anam, menyatakan, NU harus menciptakan grand design kaderisasi nahdiyah. Selain itu, ormas Islam terbesar itu juga perlu mengatur segmentasi rekruitmen di tingkat kemahasiswaan dan mengatasi isu radikalisasi di kalangan pelajar.
”Selama ini, poin-poin tersebut memang belum mendapatkan perhatian lebih. IPNU meminta NU untuk memperhatikan poin-poin tersebut,” papar Khairul. Pihaknya juga berharap agar pemimpin warga nahdiyah bisa mempertegas posisinya sebagai organisasi masyarakat, sehingga tidak politis.
Ketua Umum GP Ansor, Syaifullah Yusuf, menyatakan, sebagian besar ulama menginginkan agar NU ke depan lebih terkonsentrasi pada masalah-masalah kemasyarakatan, ekonomi, dan pendidikan serta tidak terjebak pada politik praktis. mg01 ed; heri ruslan
Sumber : Dialog Jumat , Republika , Jumat, 26 Maret 2010
…………………………………………………………
KH Hasyim Muzadi: ‘NU Harus
Mandiri’
Tanpa terasa, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 2004-2009 hasil Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Jawa Tengah 2004, berakhir pekan ini. Jika tak ada aral melintang, Sabtu (27/3) malam atau Ahad (28/3) dini hari, ormas Islam beranggotakan 45 juta umat itu akan melakukan suksesi kepemimpinan.
Banyak program yang telah dijalankan PBNU periode 2004-2009, namun masih ada pula yang belum maksimal. ”Meski di satu sisi banyak pencapaian atau pun perkembangan positif yang diraih dalam rangka membesarkan NU, kami menyadari juga di sisi lain masih terdapat kekurangan-kekurangan yang belum tertangani secara maksimal,” ujar Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, yang telah memimpin NU selama dua periode kepada wartawan Republika, Damanhuri Zuhri .
Berikut petikan wawancara dengan kiai yang dinobatkan sebagai tokoh Muslim berpengaruh ke-18 di dunia itu.
Bagaimana persiapan Muktamar di Makassar?
Alhamdulillah, semuanya berjalan baik. Panitia Muktamar ke-32 NU di Makassar diharapkan a mampu menyeleksi peserta muktamar NU secara ketat. Hal itu penting, agar muktamar bersih dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Panitia administratif hendaknya melakukan pemeriksaan dan seleksi secara ketat terhadap peserta muktamar NU agar orang-orang yang tak berhak, tak masuk ke wilayah muktamar.
Misalnya dari segi kartu peserta muktamar, orangnya harus jelas, utusan dari mana dan atas nama siapa. Karena itu surat keputusan (SK) pengurus wilayah (PWNU) serta SK pengurus cabang harus jelas dan tidak bermasalah. Dengan demikian, maka keamanan terhadap berlangsungnya pembukaan maupun acara muktamar bisa dijamin.
Apa saja yang telah Kiai lakukan selama memimpin NU?
Dengan rahmat Allah SWT, PBNU telah sampai di penghujung masa baktinya dengan melaksanakan pelbagai program kerja yang diamanatkan oleh Muktamar NU ke-31 di Boyolali Jawa Tengah pada tahun 2004. Selain itu, PBNU telah memfasilitasi serta mengatur dinamika keorganisasian lainnya yang berkembang selama masa khidmatnya, sehingga hal itu bisa membawa NU pada situasi yang favourable , baik bagi warga Nahdliyyin dan umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Meski di satu sisi banyak pencapai atau pun perkembangan positif yang diraih dalam rangka membesarkan NU, kami menyadari juga bahwa di sisi lain masih terdapat kekurangan-kekurangan yang belum sempat tertangani secara maksimal.
Karena di samping ketersediaan peluang dan kemampuan yang dimiliki PBNU hingga berhasil diolah menjadi suatu kemajuan dan kemaslahatan bagi organisasi, kami juga menjumpai hambatan dan kelemahan yang menyebabkan sebagian langkah organisasi berjalan agak tersendat-sendat.
Perbaikan apa saja yang dilakukan untuk membenahi NU?
Muktamar NU ke-31 di Boyolali Jawa Tengah telah dijadikan sebagai medium pengukuhan kembali NU dalam melaksanakan khittah -nya. Sebagai jam’iyyah diniyyah , NU selain melaksanakan dakwah dan pendidikan yang menjadi core competence -nya, juga berusaha dan berketetapan untuk memantapkan program pengembangan warganya dalam berbagai bidang kehidupannya.
Program-program riil seperti pengkaderan atau bahkan pengembangan dan pemberdayaan ekonomi dirancang sedemikian rupa, dengan harapan hasilnya bisa dirasakan langsung oleh warga Nahdliyyin dan masyarakat pada umumnya. Muktamar NU ke-31 di Boyolali telah merumuskan 10 program dasar NU.
Dari sekian program yang diputuskan dalam Muktamar NU ke-31 tersebut, PBNU telah memprioritaskan beberapa bidang garapan. Di antara bidang yang mendapatkan perehatian prioritas NU adalah pendidikan. Bidang ini harus mendapatkan perhatian karena maju tidaknya NU akan sangat tergantung pada maju tidaknya pendidikan yang dikelola masyarakatnya, mengingat mayoritas warga NU dididik dalam lembaga-lembaga pendidikan NU.
Termasuk dalam bidang pendidikan ini adalah pesantren dan madrasah serta sekolah-sekolah yang berada dalam lingkungan dan dikelola masyarakat NU. Terkait peningkatan kualitas, NU berusaha bekerja sama dengan lembaga terkait, baik dalam maupun luar negeri. Sebuah training di bidang ketrampilan bagi guru-guru bidang, misalnya, pernah dilakukan dengan bekerja sama bersama Hanns Seidel Foundation (HSF).
Figur seperti apa yang pantas memimpin ormas Islam terbesar di Indonesia ini pada periode mendatang?
Orang yang akan memimpin NU ke depan haruslah orang yang mandiri, berkarakter dan kompeten. Berkarakter dan berkompeten. Berkompeten itu mengerti urusan. Kompeten itu orang yang mengerti dan bisa menyelesaikan masalah.
Bagaimana dengan usulan agar NU ke depan jangan terlibat politik praktis?
Ada berbagai kalangan yang tidak menginginkan NU diseret-seret ke politik. Ada yang mengingingkan NU itu hanya mengurusin ngaji. Yang kedua, NU jangan berpolitik karena sudah punya partai politik.
Politik NU itu adalah politik keumatan, politik kebangsaan dan politik kemanusiaan. Diejawantahkan ke dalam ukhuwah Islamiyah, wathaniyah dan insaniyah dan tidak bergerak di bidang politik kekuasaan Orang NU yang ingin masuk ke politik kekuasaan, maka dia tidak boleh merangkap dengan NU.
Jadi yang ada bukan sterelisasi politik, tapi penataan. Penataan itu sudah ada, misalnya, ketua dan pengurus NU tidak boleh merangkap pengurus partai. Ketua NU tidak boleh dijabat oleh pejabat publik. ed; heri ruslan
Sumber : Dialog Jumat , Republika , Jumat, 26 Maret 2010
ÔÔÔ
Cianjur, 4 Oktober 2010 / 26 Syawal 1431 | 16 : 26
Aug 05, 2011 @ 12:47:48
Trims, untuk infonya ttg NU.